Kepemimpinan Masa Kini: Menjadi Contoh untuk Hadapi Perubahan Eksponensial
Pemimpin memiliki peran yang berbeda dibanding pekerjaan lainnya. Seseorang yang bukan pemimpin biasanya dituntut untuk menjadi spesialis di satu bidang – misalnya sebagai arsitek, programmer, analis data, dan lain sebagainya. Namun apabila sudah memegang peran sebagai pemimpin, segalanya akan berubah.
“Masalahnya adalah ketika sudah menjadi leader, jika kita ingin bertindak langsung, kita tidak bisa. You are no longer in charge. You are in charge of people in charge,” ujar Armand Wahyudi Hartono, Deputi Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA), dalam acara CEO Speaks on Leadership with BCA, Kamis, 12 Desember 2017, di Kampus BINUS JWC, Senayan.
Menurut Armand, pemimpin bukanlah orang yang mengerjakan semua pekerjaan, namun membantu orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan. Jika diibaratkan seperti sepakbola, lanjutnya, pemimpin adalah pelatih yang tidak bisa serta-merta masuk ke lapangan jika tim binaannya kebobolan.
Seorang pemimpin harus memberikan hasil kerja. Akan tetapi, hasil pekerjaan tersebut bergantung pada orang lain, bukan si pemimpin itu sendiri. Hasil itu penting, tapi harus didapat dari orang-orang, budaya, dan proses yang tepat.
Armand menuturkan bahwa pemimpin harus merefleksikan visi serta nilai-nilai perusahaan atau organisasi. Meski penting, statement visi dan misi dalam bentuk tertulis tidak akan nada artinya jika tidak menjadi budaya serta secara konsisten menjadi dasar aksi dan karakter sehari-hari. “Dan itu semua tidak terjadi overnight, itu semua dimulai dari latihan. Mulailah dari pikiran, akhirnya nanti akan diucapkan, lalu ditulis. Kemudian dilakuan, sekali, dua kali, terus dilakukan, kemudian menjadi terbiasa. Lama-kelamaan menjadi karakter, lama-kelamaan jadi natural,” jelasnya.
Selain itu, penting bagi seorang pemimpin untuk memulai dengan pertanyaan “kenapa” (start with why) dan membangun rasa percaya. Pemimpin harus mampu secara jelas menjelaskan mengapa pekerjaan yang dilakukan bermakna, sehingga ada passion yang tumbuh di situ.
Kepemimpinan Zaman Dahulu vs. Kepemimimpinan Zaman Sekarang
Menurut Armand, teori kepemimpinan zaman dahulu banyak yang sudah tidak sesuai zaman dan tidak dapat lagi diterapkan di masa sekarang. Kepemimpinan zaman dahulu adalah kepemimpinan yang linear, di mana hubungan hanya seperti “majikan” dengan bawahan. Dengan gaya kepemimpinan seperti itu, bawahan hanya melakukan pekerjaan jika sudah mendapatkan perintah.
Di masa sekarang, cara memimpin seperti di atas tidak bisa dilakukan lagi karena kini semua pihak harus berjalan bersama. Hal tersebut disebabkan oleh perubahan, perkembangan teknologi, dan inovasi digital yang bergerak semakin cepat secara eksponensial. Bahkan, tambahnya, digitalisasi adalah penyebab utama hilangnya lebih dari setengah perusahaan yang termasuk dalam Fortune 500 sejak tahun 2000.
Perusahaan yang mampu bertahan dan menguasai pasar di masa sekarang adalah yang memiliki mindset eksponensial dan mampu beradaptasi serta berubah dengan cepat. Karena itu, gaya kepemimpinan juga harus berubah. Seorang pemimpin harus agile (tangkas), harus siap untuk mengubah diri sendiri dan memberi contoh bagi orang lain agar ikut berubah.
Sama seperti kapal yang besar, organisasi besar akan lebih sulit untuk bergerak cepat karena terbawa oleh momentum. Untuk menyiasati hal tersebut, perlu dibentuk tim-tim kecil yang bisa dapat bergerak dengan lincah. “Jangan ragu untuk membuat kapal kecil. Buatlah proyek-proyek trial, beri kesempatan untuk mencoba hal-hal baru,” jelas Armand.
Kerja sama yang baik – kolaboratif, tangkas, analitis, kreatif, dan inovatif – mendefinisikan kepemimpinan masa sekarang. Jika di zaman dahulu yang berpikir hanyalah si pemimpin dan yang lain tinggal menjalankan, kini semua harus aktif terlibat dan bekerja sama, termasuk dengan lini yang berbeda-beda. Pemimpin perlu merangkul serta mendorong timnya untuk aktif dan juga menjadi contoh nyata bagi mereka.
Menurut Armand, peran pemimpin sebagai contoh sangat krusial. Seorang pemimpin harus bijak dan memiliki hati yang baik karena jika tidak, dia hanya akan membawa timnya ke dalam kehancuran. Tim akan mencontoh pemimpinnya, baik yang bijak maupun tidak, bertindak serta berlaku sesuai dengan yang mereka lihat. “Terbukti banyak negara yang hancur karena pemimpinnya tidak bijak, dan orang-orang hanya mengikuti karena contohnya begitu,” jelasnya.
Hal lain yang membedakan pemimpin zaman dahulu dengan pemimpin zaman sekarang adalah pola pikir. Pemimpin zaman dahulu cenderung memiliki fixed mindset (pola pikir tetap), sementara pemimpin zaman sekarang memiliki growth mindset (pola pikir berkembang). Pemimpin dengan fixed mindset akan menganggap bahwa kemampuan seseorang akan selalu tetap di level yang sama, sedangan mereka dengan growth mindset menganggap bahwa kemampuan selalu bisa ditingkatkan. Pemimpin dengan fixed mindset sangat berbahaya karena akan menyebabkan timnya tidak berkembang dan tidak ada rasa percaya di sana.
Pemimpin dengan fixed mindset juga beranggapan bahwa tantangan adalah sesuatu yang harus dihindari. Mereka akan cenderung menghindar karena takut terlihat tidak bisa. Pemimpin seperti ini hanya akan hebat jika dia mampu. Sementara itu, pemimpin dengan growth mindset percaya jika tantangan justru merupakan peluang untuk berkembang. Mereka akan terus mencoba walaupun tidak mampu hingga akhirnya bisa.
Satu lagi yang membedakan adalah reaksi ketika mendapatkan masukan. Fixed mindset akan menyebabkan si pemimpin menjadi defensif, gemar mencari alasan, bahkan menyalahkan pihak lain. Reaksi tersebut berbeda dengan pemimpin dengan growth mindset yang akan menerima segala masukan karena menganggap bahwa sekeras apapun masukan tersebut, akan sangat bermanfaat bagi kebaikan organisasi ke depannya.
Terakhir, Armand juga menyinggung mengenai bagaimana seorang pemimpin menghadapi rasa takut. Banyak orang yang takut salah, takut terlihat tidak bisa, atau takut jika citranya rusak. Padahal langkah orang-orang sukses di luar sana banyak yang diawali dengan kegagalan. Karena itu, latihan dan terus mencoba itu penting untuk mengubah kegagalan menjadi keberhasilan, sebab rasa takut hanya akan menyebabkan organisasi berjalan di tempat tanpa adanya inovasi serta pembaharuan.
(ERON)