Empat Prinsip Inti Konsumsi Kolaboratif
Beberapa prinsip pokok yang harus dipenuhi oleh sebuah platform agar dapat mengimplementasikan konsep konsumsi kolaboratif dengan baik (Botsman& Rogers, 2010: 102). Meskipun sejatinya pokok-pokok prinsip tersebut dapat berbeda-beda tergantung pada kasus dan jenis konsumsi kolaboratif tersebut. Botsman dan Rogers (2010: 97) membagi konsumsi kolaboratif kedalam tiga kategori yaitu product service systems, redistribution markets dan collaborative lifestyles. Kemudian, didalam setiap kategori bahkan dapat terbagi-bagi lagi kedalam beberapa sub-kategori. Namun, meskipun demikian pokok-pokok prinsip konsumsi kolaboratif secara esensinya digambarkan oleh prinsip critical mass, idling capacity, belief in the common dan trust between strangers.
Critical mass menggambarkan bahwa dalam konsep konsumsi kolaboratif sebuah platform harus mampu memberikan beragam pilihan yang cukup demi merangkul konsumen potensial mereka (Störby & Strömbladh, 2015). Sehingga sebuah platform diharapkan memiliki fitur yang beragam serta memiliki ketersediaan unit produk/layanan yang cukup agar dapat bertahan dalam jangka panjang .Dengan kata lain, jika platform tersebut tidak dapat memberikan pilihan yang cukup, maka konsumen kemungkinan besar tidak dapat menemukan apa yang mereka cari. Pada intinya critical mass berhubungan erat dengan aspek ketersediaan (availability), sehingga hubungan antara permintaan dan penawaran harus mampu dipenuhi oleh platform tersebut agar konsumen tidak berpaling ke kompetitor (Botsman & Rogers, 2010: 102). Dalam jangka panjang, ketidakmampuan platform konsumsi kolaboratif dalam memenuhi permintaan konsumen mengakibatkan platform tersebut dihindari oleh konsumen dan pada akhrinya tidak dapat bertahan lama. Namun, jika platform tersebut mampu memenuhi aspek critical mass, berarti konsumen memiliki begitu banyak pilihan sehingga kebutuhan setiap orang akan terpenuhi dan platform dapat berpotensi menjadi makmur.
Aspek lain dari critical mass menyangkut social proof. Bukti sosial (social proof) mengacu pada bagaimana orang dipengaruhi untuk bertindak dengan cara tertentu oleh temans ebayanya. Ketika sebuah platform konsumsi kolaboratif mencapai critical mass, maka akan berhasil menarik sejumlah pengguna setia. Konsumen awal ini kemudian akan mempengaruhi orang lain untuk mencoba. Dengan cara ini, platform bisa tumbuh dan diterima secara sosial. Botsman dan Rogers (2010: 107) sangat menekankan pentingnya bukti sosial terhadap konsumsi kolaboratif. Hal ini disebabkan konsumsi kolaboratif telah memaksa penggunanya untuk mematahkan kebiasaan lama, sesuatu yang orang bisa sangat enggan melakukannya. Keberhasilan platform berbasis konsumsi kolaboratif sangat bergantung pada kemampuan platform tersebut untuk memenuhi critical mass penggunananya. Karena tanpa critical mass, pengguna pun hampir tidak dapat menemukan produk ataupun jasa yang diinginkan. Untuk mengetahui apakah platform berbasis konsumsi kolaboratif dapat mencapai critical mass dapat melalui analisis terhadap konsumen potensial dari platform tersebut (Glind, 2013: 25).
Idling capacity mengacu pada sumber daya yang tidak digunakan secara maksimal untuk memenuhi potensi yang sebenarnya (Botsman& Rogers, 2010: 110). Dengan kata lain, idling capacity lebih mengacu kepada sumberdaya yang belum atau kurang dimanfaatkan. Selaras dengan yang diungkapkan oleh(Glind, 2013: 16)bahwa idling capacity mengacu pada barang-barang berharga tinggi yang sering berada dalam keadaan menganggur.Konsumsi kolaboratif juga berperan dalam mendorong konsumsi yang berkelanjutan (sustainable consumption) melalui cara memberdayakan kembali segala sumber daya yang sedang menganggur serta melawan konsumsi berlebihan (Störby & Strömbladh, 2015: 16).
Botsman and Rogers (2010: 111) menunjukkan bahwa lebih dari 80% item di Inggris dan AS digunakan kurang dari sekali dalam sebulan. Pada dasarnya, konsumsi kolaboratif bertujuan untuk memanfaatkan kapasitas yang tidak termanfaatkan atau mengganggu untuk didistribusikan kembali, sehingga bisa digunakan dengan lebih efisien. Oleh karena itu, idling capacity merupakan salah satu indikator untuk mengetahui apakah suatu barang cocok dengan konsep konsumsi kolaboratif atau tidak(Glind, 2013: 16). Potensi untuk memaksimalkan produktivitas tersebut dimungkinkan oleh kehadiran teknologi modern seperti jaringan sosial online dan perangkat mobile. Jaringan sosial telah memberikan kesempatan untuk mendistribusikan kembali berbagai bentuk idling capacity yang jauh lebih mudah daripada sebelumnya, sehingga memungkinkan orang memanfaatkan sumberdaya yang tidak terpakai secara lebih efisien(Störby & Strömbladh, 2015: 17).
Pokok-pokok prinsip konsumsikolaboratif yang ketiga adalah belief in the commons. Prinsip ini mengacu kepada sumberdaya bersama atau dengan kata lain sumber daya yang dimiliki bersama oleh semua orang (Botsman& Rogers, 2010: 115). Konsep prinsip tersebut secara sederhananya adalah jika masyarakat memiliki ketertarikan terhadap kolektifitas atau semangat kebersamaan dan mampu menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, maka sumberdaya tersebut dapat digunakan denganlebihefisien. Sehingga, belief in the common dapat menciptakan nilai bagi semua orang yang terlibat di dalamnya (Störby & Strömbladh, 2015: 13). Botsman&Rogers (2010: 116) menjelaskan bahwa ketika orang bertindak sesuai dengan kepentingan pribadi mereka sendiri, maka hal tersebut berpotensi menyebabkan hasil negatif bagi masyarakat luas. Untuk menggambarkan hal ini, Botsman& Rogers (2010: 116) menggunakan contoh ride-sharing.
Ride–sharing mengacu pada bentuk carpooling, di mana sekelompok orang berkumpul untuk berbagi perjalanan dengan mobil, alih-alih setiap orang mengemudi satu per satu dan menggunakan mobil pribadi mereka masing-masing. Jika semua orang berkendara untuk berkeliling di kota menggunakan mobil pribadi, maka akan timbul kemacetan lalu lintas serta menimbulkan dampak negatif bagil ingkungan. Sebaliknya, jika masyarakat memilih menggunakan ride sharing, kepadatan lalulintas akan berkurang serta masyarakat dapat menghemat waktu perjalanan dan pada akhirnya lingkungan akan menjadi lebih baik. Dengan demikian, mereka menyampaikan bahwa konsumsi kolaboratif merupakan cara untuk menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan umum. Berdasarkan kepercayaan pada kesamaan (belief in common), maka hal tersebut dapat menciptakan nilai bagi semua orang yang terlibat di dalamnya. Akan tetapi, selain harus mempercayai orang lain, mereka juga perlu percaya bahwa sekelompok orang dapat berbagi sumber daya yang sama secara adil dan berkelanjutan (Glind, 2013: 27).
Pokok prinsip konsumsi kolaboratif yang terakhir adalah kepercayaan antara orang asing atau dengan kata lain antara orang yang tidaksalingmengenal (trust between strangers) (Botsman& Rogers, 2010: 119). Kepercayaan menjadi faktor utama yang mendorong masyarakat untuk terlibat dalam konsumsi kolaboratif. Dalam konsumsi tradisional, konsumen berinteraksi dengan perantara yang menjamin kualitas produk atau layanan dan melakukan interaksi langsung dengan konsumen. Dalam konsumsi kolaboratif, tidak ada perantara semacam itu. Sebaliknya, transaksi terjadi secara langsung dengan penjual atau produsen (Botsman& Rogers, 2010: 119).
Menciptakan kepercayaan bagi para penggunanya merupakan salah satu tantangan terbesar platform konsumsi kolaboratif online (Glind, 2013: 27). Olehkarenaitu, hampir semua platform konsumsi kolaboratif memiliki sistem untuk memastikan bahwa pembeli dan penjual dapat dipercaya. Misalnya, sistem penilaian (rating) menjadi metode yang paling lazim digunakan oleh berbagai platform. Dengan cara itu, masyarakat dapat menilai setiap orang yang melakukan transaksi dengan mereka dan hal tersebut dapat menciptakan sebuah sistem referensi baik bagi konsumen. Sistem tersebut dapat secara efektif memungkinkan pengguna platform untuk melihat dengan siapa mereka bertransaksi atau berbagi, dan apakah orang-orang tersebut memiliki rating yang baik sehingga dapat dipercaya atau tidak. Pada intinya membangun kepercayaan sangatlah penting dalam konsumsi kolaboratif, karena dengan hal itu sebuah platform dapat menjembatani antara pengguna dan penyedia produk/layanan dengan baik (Botsman& Rogers, 2010: 123).
Comments :