Setiap tahunnya, terdapat lebih dari 15.000 warga Australia kehilangan nyawanya akibat kebiasan merokok. Setiap tahunnya, pemerintah Australia mengeluarkan sekitar 31,5 miliar dolar untuk biaya perawatan atau menunjang kesehatan masyarakat Australia. Hal ini menyebabkan pada tahun 2011 pemerintah Australia mengeluarkan Undang-Undang mengenai Kemasan Rokok Polos (The Tobacco Plain Packaging Act 2011) untuk membatasi penjualan rokok dan produk tembakau di negaranya.  Undang-undang tersebut melarang adanya penggunaan logo, citra merek, simbol, gambar lain, warna dan teks promosi pada kemasan dan produk tembakau. Selain itu, Australia sendiri berpendapat bahwa kebijakan Kemasan Rokok Polos tersebut merupakan suatu cara implementasi sebagai anggota WHO terhadap langkah-langkah kontrol rokok pada artikel 7, 11, 13 dari hasil Framework  Convention  on Tobacco Control (FCTC).

Sejak tahun 2012, kebijakan tersebut telah menjadi masalah bagi negara-negara produsen rokok di dunia termasuk salah satunya Indonesia yang berada di posisi ke 6 sebagai negara penghasil tembakau terbesar di dunia pada tahun 2017, yaitu sebesar 152,319 ton. Hal ini menyebabkan Indonesia beserta Honduras, Republik Dominika, Ukraina, dan Kuba menggugat Australia ke WTO (World Trade Organization). Dikarenakan, Australia telah melanggar kesepakatan terkait tarif dan perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade/GATT) dan bertentangan dengan Pasal XXIII GATT 1994 tentang tentang prosedur penyelesaian sengketa antarnegara, hak paten dalam perdagangan, serta hambatan teknis dalam perdagangan.

Selain itu, bertentangan juga dengan perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) terkait hak konsumen untuk mengetahui produk yang akan dikonsumsinya dan hak produsen untuk menggunakan merek dagangnya secara bebas tanpa hambatan-hambatan yang tidak berdasar, atau untuk lebih detail, berikut daftar perjanjian TRIPS dan TBT (Agreement on Technical Barriers to Trade) yang dianggap telah dilanggar oleh Australia :

    1. Pasal 2.1 Perjanjian TRIPs, dikarenakan Australia tidak memberikan perlindungan efektif terhadap persaingan tidak sehat, yaitu menciptakan kebingungan antara barang pesaing;
    2. Pasal 15.4 Perjanjian TRIPs, karena sifat dari barang yang harus diterapkan merek dagang merupakan hambatan bagi pendaftaran merek dagang;
    3. Pasal 16.1 Perjanjian TRIPs, karena tindakan tersebut mencegah pemilik merek dagang terdaftar menikmati hak yang diberikan oleh merek dagang;
    4. Pasal 16.3 Perjanjian TRIPs, karena tindakan tersebut mencegah pemilik merek dagang terdaftar yang “terkenal” dari menikmati hak yang diberikan oleh merek dagang;
    5. Pasal 20 Perjanjian TRIPs, karena penggunaan merek dagang sehubungan dengan produk tembakau tidak dapat dibebani dengan persyaratan khusus, seperti (i) penggunaan dalam bentuk khusus, misalnya jenis huruf, font, ukuran, warna, dan penempatan seragam dari nama merek, dan, (ii) menggunakan dengan cara yang merugikan kemampuan merek dagang untuk membedakan produk tembakau dari satu usaha dari produk tembakau lainnya;
    6. Pasal 22.2 (b) Perjanjian TRIPs, karena Australia tidak memberikan perlindungan yang efektif terhadap tindakan persaingan tidak sehat sehubungan dengan indikasi geografis, yaitu dapat menimbulkan kebingungan di antara konsumen sehubungan dengan asal barang;
    7. Pasal 2.2 dari Perjanjian TBT, karena peraturan teknis yang dipermasalahkan menimbulkan hambatan yang tidak perlu untuk diperdagangkan karena pembatasan perdagangan lebih ketat daripada yang diperlukan untuk memenuhi tujuan yang sah.
Source: https://www.ilcn.org/nothing-plain-about-plain-packaging/

Kebijakan the tobacco plain packaging act adalah kebijakan yang dianggap oleh Indonesia bertentangan dengan hukum perdagangan international, karena Australia telah melanggar ketentuan perijanjian-perjanjian multilateral negara anggota WTO. kebijakan ini dinilai sebagai ancaman nyata bagi produk tembakau dari Indonesia, karena aturan ini diyakini akan menyebabkan daya saing produk rokok Indonesia di pasar Internasional akan menurun.  Berdasarkan data kementrian perindustrian hingga saat ini, terdapat jutaan tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya dari industri tembakau.

Bagi Indonesia, kebijakan tersebut berpotensi menghambat ekspor rokok Indonesia yang akan berdampak kepada kehidupan petani tembakau dan industri rokok nasional. Diketahui bahwa industri rokok di Indonesia menyumbang sebesar 1,66 % dari total GDP Indonesia dan pada tahun 2013, devisa negara mencapai 700 juta dolar AS atau setara dengan Rp 8,4 triliun melalui ekspor ke dunia. Selain itu, berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, terdapat sekitar 6,1 juta tenaga kerja yang sumber penghidupannya berasal dari industri rokok atau pertembakauan nasional yang kira-kira terdiri dari 2 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600.000 karyawan industri tembakau, dan 2 juta pekerja ritel.

Source: https://igj.or.id/2021/02/23/the-future-of-the-wto/?lang=en

Namun, pada tanggal 9 Juni 2020, WTO mengeluarkan keputusan akhir yang menegaskan bahwa kemasan polos produk tembakau sesuai dengan perjanjian WTO, serta sesuai dengan ilmiah dan hukum.  Australia berhasil memenangkan kasus gugatan hukum terkait kemasan rokok berdesain polos di Badan Perdagangan Dunia (WTO). Sebelumnya, negara-negara produsen rokok terbesar di dunia seperti Indonesia, Kuba, Honduras, dan Republik Dominika telah mengajukan gugatan terhadap kebijakan tersebut. Aturan plain packaging ini juga dianggap dapat meningkatkan kesehatan masyarakat, tanpa membatasi perdagangan yang dibutuhkan.

Menurut WTO, aturan baru yang diterapkan Australia terkait kemasan netral untuk produk tembakau bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Meskipun Indonesia berpendapat bahwa kebijakan lain juga dapat memiliki dampak serupa dalam mengurangi konsumsi tembakau, WTO menolak argumen tersebut. Selain itu, WTO juga menolak klaim bahwa Australia melanggar hak kekayaan intelektual dengan menghapus desain kemasan dan logo produsen rokok. Keluhan ini sebenarnya pernah ditolak pada Juni 2018, Tetapi, kemudian Honduras dan Republik Dominika mengajukan banding, dan menghasilkan keputusan pada bulan Juni 2020 dan mengakhiri perselisihannya dengan Australia. Dilaporkan bahwa negara-negara tersebut menerima dukungan teknis dan finansial dari BAT (British American Tobacco) dan PMI (Philip Morris International) untuk menyampaikan keluhan mereka.

Dari berbagai pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia dan produsen rokok Indonesia menganggap kebijakan kemasan rokok polos yang ditetapkan oleh Australia dapat menghambat ekspor dan melanggar perdagangan bebas secara tidak adil dan tidak sesuai dengan perjanjian WTO. Namun, disisi lain, Australia berpendapat bahwa kebijakan tersebut diterapkan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari dampak buruk merokok dan mengurangi penggunaan dan konsumsi tembakau. Meskipun demikian, menurut kelompok kami, penting untuk kedua belah pihak mencari solusi yang menguntungkan kedua belah pihak melalui komunikasi dan diskusi untuk mencapai kepentingan kesehatan masyarakat, tanpa mengabaikan peraturan yang ada.

References

Written by

    1. Michela Birgita Somi Tifaona  – 2702324083
    2. Jenissa Nayla Rinanto – 2702328346
    3. Dickson Lim – 2702329084
    4. Jesslyn Ivana Manopo – 2702234926