Oleh: Dr. Marko S Hermawan

Sebuah Pertanyaan Diri

Saya tergerak untuk menulis ulasan ini setelah mendengar presentasi dosen tamu dari Direktur ESG KPMG untuk mahasiswa program Magister Akuntansi Binus University, kamis, 6 Oktober 2023. Beliau menjelaskan perubahan global yang akan terjadi dalam kurun waktu cukup lama, dalam rangka mengakomodasi keberlanjutan dalam pelaporan keuangan, dan mindset yang harus disiapkan oleh seorang akuntan untuk mengantisipasi hal ini. Di sisi lain, saya berpikir bahwa tidak hanya seorang akuntan saja yang harus merubah mindset mereka, namun divisi/department lain, bahkan management beserta perusahaannya juga harus melakukan ‘overhaul’ keorganisasiannya. Lalu bagaimana sebuah Perusahaan di Indonesia melakukan perubahan yang sangat drastic ini?

Dalam era globalisasi yang semakin dinamis, konsep sustainability atau keberlanjutan kini menjadi fokus utama bagi perusahaan di seluruh dunia. Laporan terbaru dari KPMG (2022) mengungkapkan data yang menarik: 96% dari perusahaan G250 melaporkan isu-isu terkait sustainability atau ESG; 64% di antaranya mengakui perubahan iklim sebagai risiko bagi bisnis mereka; namun, kurang dari setengahnya yang melaporkan kehilangan keanekaragaman hayati. GRI, TCFD, dan SDGs menjadi acuan utama dalam pelaporan keberlanjutan. Adopsi TCFD hampir dua kali lipat dalam 2 tahun, dengan 61% dari G250 mengadopsinya. Meski demikian, hanya 49% dari G250 yang mengakui elemen sosial sebagai risiko bagi bisnis mereka, dengan Eropa Barat sebagai region pemimpin. Sebanyak 71% perusahaan N100 mengidentifikasi topik ESG yang material, namun kurang dari setengah dari perusahaan G250 yang memiliki representasi tingkat kepemimpinan untuk sustainability. Dengan latar belakang informasi ini, pertanyaannya adalah, bagaimana kesiapan organisasi dan perusahaan-perusahaan di Indonesia menghadapi perubahan mindset yang tak terelakkan ini, yang nantinya juga akan mempengaruhi budaya perusahaan?

Budaya Perusahaan Indonesia dan Hambatan Perubahan

Budaya perusahaan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip kekeluargaan yang mendalam, terutama dari budaya Jawa. Dua konsep inti yang ditekankan oleh Hermawan dan Loo (2019) adalah ‘Hormat’ (Respect) dan ‘Rukun’ (Harmony). Kedua konsep ini saling terkait dan menciptakan jaringan bisnis yang kuat dan koheren. Kompleksitas hubungan ini, yang melibatkan ‘bapakism’ (hormat kepada figur otoritas), ‘isin/sungkan’ (keraguan atau keengganan untuk bertentangan), ‘gotong-royong’ (kerja sama atau gotong royong), dan ‘musyawarah mufakat’ (pengambilan keputusan konsensus), menjadi dasar dari konsep kekeluargaan.

Magnis-Suseno (1997) berpendapat bahwa pertimbangan etika dan moral berada di bawah pengaruh kedua konsep tersebut. Tidak ada individu yang memiliki hak untuk mengabaikan prinsip-prinsip harmoni. Hal ini menggambarkan bagaimana individu berada dalam “zona nyaman” mereka, dengan prinsip rukun dan hormat yang saling terjalin, mempengaruhi interaksi sosial dan bisnis. Sementara rukun memandu pengambilan keputusan non-otoriter, hormat menentukan hubungan hierarkis dan kerangka kerja interaksi.

Uniknya, salah satu cara paling khas untuk mengekspresikan rukun dan hormat dalam konteks Jawa adalah dengan menggunakan gelar kehormatan ‘Bapak’ atau ‘Ibu’ untuk rekan kerja yang lebih tua atau yang sudah menikah. Hal ini menciptakan kedekatan dan mengurangi jarak hierarkis, mencerminkan norma di mana tetangga atau rekan kerja diperlakukan layaknya anggota keluarga. Dengan demikian, karakteristik sebuah keluarga tercermin dalam masyarakat dan bisnis.

Kekeluargaan telah terbukti eksis dalam budaya organisasi dan praktek bisnis di Indonesia, terutama dalam perusahaan lokal dan sektor publik. Nilai-nilai kuat seperti bapakism, patriotisme, dan nasionalisme berkontribusi besar pada perkembangan kekeluargaan. Berbeda dengan konsep Guanxi, di mana hubungan antar anggota didasarkan pada jaringan yang disengaja, kekeluargaan di Indonesia berasal dari pemahaman bersama tentang harmoni, toleransi, empati, dan konektivitas informal.

Namun, sisi lain dari konsep ini adalah ‘hormat’ yang membentuk struktur hierarkis dalam masyarakat Indonesia. Dalam praktek bisnis, hierarki ini termanifestasi dalam pembentukan jaringan. Fenomena ini menciptakan tantangan ketika perlu dilakukan perubahan, terutama dalam menerapkan prinsip-prinsip sustainability, karena mungkin ada ketidaknyamanan atau ketidakinginan untuk ‘mengganggu’ struktur yang sudah ada.

Tentu saja, selain budaya kekeluargaan, ada beberapa hambatan lain yang khas di Indonesia yang dapat mempengaruhi proses adaptasi dan implementasi prinsip-prinsip keberlanjutan di perusahaan:

  1. Resistensi terhadap Inovasi: Di beberapa sektor industri di Indonesia, resistensi terhadap inovasi dan perubahan teknologi sering menjadi hambatan. Ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pemahaman atau keterampilan terkait teknologi baru, atau ketakutan bahwa inovasi dapat mengancam pekerjaan.
  2. Regulasi dan Kebijakan Pemerintah: Terkadang, regulasi dan kebijakan pemerintah dapat menjadi hambatan bagi perusahaan yang ingin mengadopsi praktek-praktek berkelanjutan. Meskipun ada kemajuan dalam beberapa tahun terakhir, proses birokrasi yang lambat dan kurangnya insentif dapat mempengaruhi keputusan bisnis.
  3. Ketergantungan pada Sumber Daya Alam: Banyak industri di Indonesia sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam, seperti pertambangan, perkebunan, dan perikanan. Paradigma lama yang mementingkan eksploitasi maksimal seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan.
  4. Pendidikan dan Kesadaran: Meskipun kesadaran mengenai isu-isu keberlanjutan meningkat, masih ada kesenjangan pengetahuan di beberapa area. Pendidikan yang kurang memadai tentang keberlanjutan di kalangan eksekutif atau karyawan dapat menghambat adopsi praktik-praktek berkelanjutan.
  5. Kurangnya Infrastruktur Pendukung: Di beberapa area, kurangnya infrastruktur pendukung, seperti teknologi bersih atau fasilitas daur ulang, dapat menjadi hambatan bagi perusahaan yang ingin mengadopsi prinsip-prinsip keberlanjutan.
  6. Kondisi Ekonomi: Kondisi ekonomi yang fluktuatif atau ketidakstabilan politik bisa membuat perusahaan lebih fokus pada keberlangsungan jangka pendek daripada investasi jangka panjang yang berorientasi pada keberlanjutan.

Mengatasi hambatan-hambatan di atas memerlukan pendekatan yang komprehensif, melibatkan pemangku kepentingan dari berbagai sektor, dan komitmen kuat dari manajemen perusahaan.

Pandangan Kekinian

Selama ini, perkembangan ekonomi global dan dampak dari modernisasi telah mengakar kuat pada budaya perusahaan di Indonesia. Kapitalisme, yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan keuntungan maksimal, telah menjadi dominan, kadang-kadang bahkan menenggelamkan nilai-nilai tradisional yang ada dalam masyarakat. Namun, saat kita melihat lebih dalam pada akar budaya Indonesia, kita akan menemukan bahwa prinsip-prinsip kekeluargaan, saling menghormati, dan keharmonisan dengan alam sejatinya sudah ada sejak lama dan melekat dalam DNA masyarakat kita.

Budaya Indonesia, dengan segala kekayaannya, sebetulnya memiliki filosofi dan etika yang mendalam terkait hubungan manusia dengan alam dan sesamanya. Prinsip ‘rukun’, ‘gotong royong’, dan ‘hormat’ adalah manifestasi dari bagaimana masyarakat Indonesia secara turun temurun menjunjung tinggi keharmonisan dengan alam dan kehidupan sosial. Ini sejalan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan yang saat ini sedang dicanangkan oleh dunia internasional.

Seharusnya, kita tidak perlu melihat ke Barat untuk mencari inspirasi tentang bagaimana menjalankan bisnis yang berkelanjutan. Solusinya ada di depan mata kita, yaitu dengan kembali kepada ‘fitrah’ kekeluargaan kita. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip budaya tradisional kita ke dalam strategi bisnis, kita tidak hanya akan menciptakan perusahaan yang lebih berkelanjutan, namun juga lebih sejalan dengan identitas dan nilai-nilai kita sebagai bangsa.

Sebagai contoh, prinsip ‘gotong royong’ dapat diadaptasi ke dalam sistem produksi yang lebih inklusif dan ramah lingkungan, sementara prinsip ‘rukun’ dan ‘hormat’ dapat menjadi dasar dalam mengembangkan hubungan bisnis yang lebih etis dan adil. Dengan demikian, kita dapat menghadirkan model bisnis yang unik, inovatif, dan tentunya sesuai dengan karakteristik budaya Indonesia.

Bagaimana solusinya?

Mengurangi status quo dalam konteks budaya kekeluargaan di Indonesia memerlukan pendekatan yang khusus dan sensitif. Berikut adalah beberapa solusi yang dapat diintegrasikan dengan prinsip kekeluargaan untuk mendorong perubahan:

  1. Mengedepankan Musyawarah Mufakat: Mengadakan diskusi terbuka dan inklusif dapat membantu semua anggota organisasi merasa bahwa suaranya dihargai. Melalui musyawarah, pemimpin perusahaan dapat mendengar masukan, kekhawatiran, dan harapan dari karyawan, sehingga membantu merumuskan strategi yang lebih menerima dukungan.
  2. Edukasi Melalui Cerita dan Tradisi: Menggunakan cerita tradisional, legenda lokal, atau kisah-kisah inspiratif dari komunitas bisa menjadi cara efektif untuk menyampaikan pentingnya perubahan dan keberlanjutan. Ini membantu menghubungkan inovasi dengan nilai-nilai budaya yang sudah ada.
  3. Gotong Royong Sebagai Basis Inovasi: Menyusun tim lintas fungsi atau departemen yang berfokus pada proyek-proyek keberlanjutan dan inovasi. Prinsip gotong royong dapat diterapkan di sini, dengan setiap anggota tim berkontribusi sesuai keahlian dan kemampuannya, mendorong kerja sama dan pemecahan masalah secara kolektif.
  4. Pemberdayaan Figur Individu yang ‘disegani’: Mengidentifikasi dan memberdayakan individu-individu dalam organisasi yang dihormati dan dipercaya oleh rekan-rekan mereka untuk menjadi duta perubahan. Ini bisa berupa senior di perusahaan atau individu yang memiliki pengaruh kuat di komunitas.
  5. Pengakuan dan Penghargaan: Memberikan pengakuan atau penghargaan kepada individu atau tim yang berinovasi atau mengadopsi praktek-praktek berkelanjutan dapat memotivasi yang lain untuk mengikuti jejak mereka. Ini menciptakan semangat kompetisi sehat dan dorongan positif untuk berinovasi.
  6. Pelatihan dan Workshop: Mengadakan pelatihan dan workshop yang memfokuskan pada bagaimana prinsip-prinsip kekeluargaan dapat mendukung inovasi dan keberlanjutan. Dengan menekankan hubungan antara nilai-nilai tradisional dengan kebutuhan masa kini, karyawan dapat melihat relevansi dan urgensi perubahan.

Dengan mengintegrasikan solusi-solusi ini ke dalam kerangka kekeluargaan yang sudah ada, perusahaan di Indonesia dapat meminimalkan resistensi terhadap perubahan dan mendorong adopsi praktek-praktek berkelanjutan dengan cara yang lebih harmonis dan efektif.

Jakarta, 06 Oktober 2023

 

Referensi:

Hermawan, M. S., & Loo, M. K. (2019). The construction of kekeluargaan as an Indonesia’s organizational culture. Humaniora31(1), 1-13.

KPMG, (2022), Big Shifts Small Steps: Survey of Sustainability Reporting; KPMG International. https://assets.kpmg.com/content/dam/kpmg/xx/pdf/2022/10/ssr-small-steps-big-shifts.pdf

Magnis-Suseno, F. (1997). Javanese Etics and World-View. The Javanese Idea of the Good Life. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.