Motivasi Konsumsi Kolaboratif

Motivasi konsumen dalam berpatisipasi pada konsumsi kolaboratif terbagi menjadi dua yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik (Hamari, Sjoklint, & Ukkonen, 2015; Glind, 2013). Serta mengacu pada Ryan & Deci (2000) motivasi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Motivasi intrinsik dipengaruhi oleh kenikmatan (pleasure), di mana kenikmatan tersebut dapat dipicu oleh animo untuk memenuhi keinginan maupun untuk sekedar mendapatkan kesenangan (Ryan & Deci, 2000). Sementara itu, motivasi ekstrinsik dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar / eksternal. Pengaruh faktor eksternal dapat berupa keinginan untuk mendapatkan rewards atau keinginan untuk menghindari punishments.

Menurut Lindenberg (2001), motivasi intrinsik terbagi lagi menjadi dua kategori yaitu enjoyment-based dan obligation-based. Enjoyment-based merupakan faktor intrinsik yang murni berasal dari dalam diri, sedangkan obligation-based dipengaruhi oleh keinginan diri untuk memenuhi tanggung jawab sosial. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi dalam konsumsi kolaboratif, faktor-faktor tersebut mengacu kepada penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan (Hamari, Sjoklint, & Ukkonen, 2015; Glind, 2013; Störby & Strömbladh, 2015).

Faktor Ekonomis

Faktor ekonomi menjadi faktor motivasi konsumen yang pertama yang disampaikan oleh Botsman & Rogers (2010) didalam bukunya mengenai konsumsi kolaboratif. Faktor ekonomi terbukti menjadi faktor utama yang mempengaruhi partisipasi konsumen pada konsumsi kolaboratif dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Störby & Strömbladh (2015) mengenai faktor-faktor motivasi terhadap partisipasi masyarakat dalam collaborative lifestyle di Swedia, faktor ekonomis menjadi faktor pendorong utama. Hal tersebut selaras dengan hasil studi Tussyadiah (2015) di USA yang menyatakan bahwa faktor ekonomis merupakan motivasi terbesar yang mempengaruhi seseorang berpartisipasi dalam konsumsi kolaboratif. Hal ini dikarenakan melalui konsumsi kolaboratif, biaya dan beban dapat diminimalkan akibat dari penggunaan ulang produk-produk tersebut (Marchand, Walker, & Cooper, 2010; Gerstner, 2014).

Manfaat keekonomian dalam konsumsi kolaboratif diperoleh melalui penghematan terhadap pengeluaran karena biaya yang lebih rendah bahkan tanpa biaya sama sekali seperti misalnya free-riding, serta melalui kemudahan akses yang sediakan oleh konsumsi kolaboratif membuat penggunanya dapat menghemat waktu dan melakukan efisiensi (Hamari, Sjoklint, & Ukkonen, 2015). Namun, dalam studi yang dilakukan oleh Schiel (2015: 63) mengenai motivasi konsumen dalam berpartisipasi di konsumsi kolaboratif di Jerman, faktor ekonomi menempati urutan kedua yang mempengaruhi partisipasi konsumen dibawah faktor sosial. Selain dimensi penghematan, faktor ekonomis juga berkaitan dengan kemampuan monetisasi, yaitu bagaimana konsep konsumsi kolaboratif memiliki kemampuan untuk dapat menghasilkan pendapatan (Hamari, Sjoklint, & Ukkonen, 2015). Kemudian dalam pertukaran produk maupun jasa juga terdapat elemen kualitas untuk merefleksikan alasan keekonomisan, yang mana hal tersebut juga berkaitan dengan rasio harga dan kinerja (Schiel, 2015: 31).

Faktor Praktis

Kepraktisan dan kenyamanan dianggap sebagai salah satu faktor yang memotivasi konsumen dalam konsumsi kolaboratif (Botsman & Rogers, 2011; Störby & Strömbladh, 2015). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Glind (2013), faktor motivasi yang paling sering menjadi alasan masyarakat berpartsipasi dalam konsumsi kolaboratif adalah kepraktisan. Sebagai alternatif terhadap bentuk konsumsi tradisional, faktor kenyamanan tentunya menjadi daya tawar utama dari konsumsi kolaboratif. Dalam sebuah studi yang berjudul ‘Sharing is the new buying’ Owyang, Samuel, & Grenville (2014) menyatakan bahwa 75% dari responden menyebut faktor kenyamanan sebagai alasan utama mereka untuk berpartisipasi dalam situs berkonsep peer to peer. Selaras dengan Schiel (2015) yang juga menyatakan bahwa alasan kenyamanan (convenient) merupakan alasan utama kebanyakan masyarakat untuk bersedia bertransaksi untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Hal tersebut dipengaruhi oleh kemajuan teknologi yang pesat dan perubahan pandangan maupun nilai oleh masyarakat terhadap kepemilikan (ownership) (Störby & Strömbladh, 2015).

Pola pikir yang berfokus pada kepemilikan perlahan berganti dengan pola pikir yang fokus pada asas kemanfaatan, karena melalui konsumsi kolaboratif dapat memberdayakan sumber daya yang sedang menganggur dan membuatnya kembali produktif (Marchand, Walker, & Cooper, 2010). Sehingga konsumsi kolaboratif juga memiliki aspek keunikan dalam unsur kepraktisannya, akibat tidak adanya keseragaman baik untuk produk maupun jasa yang ada di platform konsumsi

kolaboartif mengakibatkan pengguna mendapatkan pengalaman yang berbeda-beda (Schiel, 2015: 33). Kemunculan konsumsi kolaboratif tentunya tidak terlepas dari peran internet. Melalui internet, sharing behavior sudah menjadi sesuatu yang lazim ditemui misalnya melalui sosial media. Sharing behavior yang sudah mengakar melalui internet inilah yang membuat kehadiran konsumsi kolaboratif begitu mudah untuk diterima (Botsman & Rogers, 2010). Konsumsi kolaboratif telah menjadi evolusi dari bentuk barter maupun perdagangan konvensional, dan konsep ini dapat beradaptasi secararelevan dengan perkembangan zaman dan mampu memperluas skalanya (Belk, 2014).

Unsur otonomi memegang peranan penting dalam hal kepraktisan karena para pengguna platform konsumsi kolaboartif tidak lagi tergantung pada penyedia jasa konvensional dan aturan yang dibuatnya (Marchand, Walker, & Cooper, 2010). Melalui konsumsi kolaboratif pula, penggunanya dapat mengakses segala sumber daya yang ada tanpa harus memilikinya terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan timbulnya motif untuk memanfaatkan konsep konsumsi kolaboratif agar mereka dapat mencoba barang atau jasa sebagai bahan pertimbangan keputusan pembelian dimasa yang akan datang (Phipps, et al., 2013). Faktor praktis berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap pada konsumsi kolaboratif (Schiel, 2015: 61). Sedangkan dalam studi lain, gaya hidup kolaboratif belum dianggap praktis. Sehingga faktor praktis tidak dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi orang untuk berpartisipasi dalam konsumsi kolaboratif (Störby & Strömbladh, 2015: 50).

Faktor Sosial

Aktivitas konsumsi kolaboratif dapat memperkuat kohesi sosial (Glind, 2013). Beberapa manfaat sosial yang diperoleh dari aktivitas sharing antara lain ketika budaya partisipasi dapat menciptakan suatu kegembiraan, apresiasi atau penghargaan, kepuasan serta kepercayaan diri (Glind, 2013). Sharing dimotivasi oleh sifat alturisme yang mengacu kepada tendensi untuk membantu orang lain atau dengan kata lain kemurahan hati untuk diri sendiri dan orang lain (Schiel, 2015: 32). Selain itu, partisipasi dalam aktivitas sharing juga dapat dipicu melalui social network seperti misalnya melalui seseorang yang merekomendasikan aktivitas tersebut dalam media sosialnya serta pemicu lainnya adalah word of mouth, contohnya melalui rekomendasi teman atau kerabat (Glind, 2013; Wallace, Buil, Chernatony, & Hogan, 2014; Owyang, Samuel, & Grenville, 2014). Budaya kerjasama (gotong royong) muncul seiring meningkatkannya kesadaran orang akan aktivitas sharing dalam rangka membangun sebuah komunitas masyarakat

(Albinsson & Perera, 2012). Konsumen pada dasarnya ingin saling terhubung dengan orang lain, tidak hanya dengan kalangan orang-orang yang dikenal atau memiliki kesamaan, namun juga dengan orang asing yang tidak dikenal sekalipun (Albinsson & Perera, 2012). Oleh karena itu, aktivitas sharing memicu orang untuk membagikan pengalaman mereka serta mengekspresikan sikap yang positif (Glind, 2013).

Dalam studi yang dilakukan oleh Glind (2013) ditemukan bahwa aspek sosial merupakan alasan kedua terbanyak yang diungkapkan oleh konsumen sebagai faktor yang mendorong partisipasi mereka dalam konsumsi kolaboratif. Sedangkan dalam studi Schiel (2015: 61) dan Pizzol, Almeida, & Soares, 2017: 12), faktor sosial berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap pada konsumsi kolaboratif. Selaras dengan Störby & Strömbladh (2015: 50), faktor sosial merupakan faktor motivasi konsumen terhadap partisipasi dalam gaya hidup kolaboratif yang paling berpengaruh setelah faktor ekonomis. Aspek sosial ini secara umum tidak mengenal generasi dan umur, baik tua maupun muda memiliki padangan yang seragam terhadap aspek sosial. Meskipun seperti yang telah diungkapkan sebelumnya pada pendahuluan di atas, bahwa generasi millennial merupakan generasi memiliki tingkat kesediaan tertinggi untuk terlibat dalam sharing economy dikarenakan generasi tersebut memiliki beberapa karakteristik, antara lain: berpandangan terbuka, interaktif dan akrab dengan sikap kolaboratif (Störby & Strömbladh, 2015). Namun bukan berarti generasi sebelum mereka tidak menempatkan aspek sosial sebagai faktor prioritas dalam keterlibatan di konsumsi kolaboratif.

Faktor Idealistis

Faktor idealistis dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat memotivasi konsumen untuk berpartisipasi dalam konsumsi kolaboratif karena faktor tersebut berkaitan erat dengan isu lingkungan dan etika (Albinsson & Perera, 2012; Botsman & Rogers, 2010). Beberapa penelitian membuktikan bahwa kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan semakin meningkat serta memicu semakin berkembangnya konsep green marketing. Seperti yang diungkapkan oleh Lawson (2010: 842) bahwa masyarakat yang terlibat dalam gaya hidup konsumsi kolaboratif cenderung beralih dari pola pikir materialisme kepada pola pikir non-ownership consumption. Setiap pilihan mereka untuk membeli barang maupun jasa merefleksikan kepedulian mereka terhadap isu lingkungan dan sosial (Lawson, 2010: 842). Untuk menunjang keberlanjutan lingkungan serta mengurangi dampak lingkungan, perlu diterapkan gaya hidup yang lebih meminimalisir penggunaan sumber daya yang tidak perlu demi mengurangi beban lingkungan

(Glind, 2013: 25).

Albinsson & Perera (2012) juga menyatakan bahwa keinginan untuk meminimalisir dampak terhadap kerusakan lingkungan maupun sosial menjadi salah satu faktor pendorong utama bagi mereka yang terlibat dalam beragam jenis redistribusi pasar. Pernyataan tersebut juga didukung oleh pernyataan Hamari, Sjoklint, & Ukkonen (2015) yang menyatakan aspek sustainability mempengaruhi sikap konsumen secara positif terhadap konsumsi kolaboratif. Meskipun demikian, alasan idealistik untuk berpartisipasi dalam konsumsi kolaboratif tidak terbatas pada masalah lingkungan. Penyebab sosial lainnya, seperti politik juga dapat menjadi pertimbangan (Albinsson & Perera, 2012). Selain itu, asas timbal balik mengenai keuntungan yang diterima dengan membantu orang lain juga berhubungan dengan faktor idealistis (Schiel, 2015: 34).

Hal tersebut kontras dengan apa yang disampaikan oleh Botsman & Rogers (2011) bahwa terlepas dari banyaknya pihak-pihak yang terlibat dalam konsumsi kolaboratif yang sudah mencurahkan perhatian pada isu lingkungan, faktor pendorong konsumen dalam berpartisipasi di konsumsi kolaboratif malah kebanyakan tidak memiliki sangkut paut sama sekali dengan isu lingkungan. Pada studinya Glind (2013) juga menemukan bahwa hanya sejumlah kecil orang saja yang menempatkan isu lingkungan sebagai alasan utama mereka bergabung dalam konsumsi kolaboratif. Akan tetapi, sejatinya isu lingkungan menjadi alasan mulia bagi seluruh pihak yang terlibat demi memberikan dampak nyata bagi lingkungan dengan mengadopsi gaya hidup sehat dan tidak merusak lingkungan melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan serta menunjang gaya hidup (Störby & Strömbladh, 2015; Owyang, Samuel, & Grenville, 2014). Dalam studi Schiel (2015: 61), faktor idealistis berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap sikap pada konsumsi kolaboratif. Hasil tersebut berbanding terbalik dengan studi Binninger, Ourahmoune, & Robert (2015: 980) yang menyatakan bahwa faktor idealistis berpengaruh terhadap konsumsi yang berkelanjutan.

Faktor Reputasi

Motif lain yang mempengaruhi konsumen untuk berpartisipasi dalam konsumsi kolaboratif adalah faktor reputasi. Faktor reputasi menjadi penting karena pendapat orang lain terhadap pilihan yang kita buat dapat membangun citra dan identitas pribadi (Störby & Strömbladh, 2015: 44). Selain itu, reputasi juga mengacu pada motivasi yang didorong oleh keinginan untuk mendapatkan status di antara sesama (Störby & Strömbladh, 2015: 22). Dalam sebuah penelitian terhadap situs perdagangan peer-to-peer Sharetribe, Hamari, Sjoklint, & Ukkonen (2015: 9) menemukan bahwa

konsumen dimotivasi oleh faktor-faktor seperti reputasi, namun pada tingkat yang jauh lebih rendah daripada manfaat ekonomi. Dalam studi Hamari, Sjoklint, & Ukkonen (2015: 9) faktor reputasi berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap partisipasi dalam konsumsi kolaboratif. Störby & Strömbladh (2015: 50), pada studinya faktor reputasi menjadi faktor yang kurang mendapatkan perhatian dari konsumen, meskipun demikian faktor reputasi penting karena dengannya citra perusahaan dibentuk dimata masyarakat pada umumnya dan konsumen setianya pada khususnya. Faktor kurangnya kepercayaan menjadi faktor penghambat partisipasi terhadap konsumsi kolaboratif kedua setelah efikasi (Tussyadiah, 2015).

Faktor Kuriositas

Faktor keingintahuan (curiosity) yang dianggap sebagai salah satu faktor kuat yang dapat memotivasi konsumen berpartisipasi dalam konsumsi kolaboratif (Glind, 2013). Melalui studinya, Glind (2013) menemukan, bahwa sebanyak setengah dari responden dalam penelitiannya tersebut mengutip keingintahuan sebagai faktor pendorong untuk menggunakan platform. Keingintahuan dalam menggunakan konsumsi kolaboratif ini ternyata didorong oleh keinginan untuk berjejaring atau bersosialisasi dan keinginan untuk mencoba platform itu sendiri. Berbanding terbalik, dalam studi yang dilakukan oleh Störby & Strömbladh (2015), faktor keingintahuan (curiosity) kurang mendapatkan perhatian dari konsumen dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya, yang artinya faktor keingintahuan bukanlah faktor pendorong utama.

Faktor Teknologi

Aspek teknologi merupakan salah satu faktor pendorong dalam aktivitas ekonomi kolaboratif (Owyang, Tran, & Silva, 2013). Hal tersebut dapat diukur melalui tiga indikator yaitu social networking, mobile devices and platforms dan payment systems. Social networking memfasilitasi transaksi peer to peer dengan menyesuaikan penawaran dan permintaan. Melalui hasil studi mereka terhadap 30 pelaku startup, Owyang, Tran, & Silva (2013) mengungkapkan bahwa 74% dari pelaku startup tersebut memiliki profil sosial dan fitur reputasi serta sebesar 54% terintegrasi dengan Facebook Connect. Fitur-fitur tersebut membantu para pengguna baik pembeli maupun penjual untuk saling membangun rasa saling percaya.

Mobile devices and platforms berperan sangat penting karena pada saat ini, adopsi terhadap penggunaan telepon pintar semakin meningkat. Artinya pengguna akan semakin mudah untuk melakukan penawaran ataupun menemukan barang dan jasa kapanpun serta di manapun (Owyang,

Tran, & Silva, 2013). Sehingga, untuk mengurangi barrier to entry dan meningkatkan partisipasi, bisnis akomodasi peer to peer perlu mengembangkan platform yang membantu meningkatkan kepercayaan diantara pengguna (Tussyadiah, 2015). Terakhir payment systems, kerjasama para pelaku e-commerce dan platform penyedia jasa pembayaran memudahkan transaksi antara para penjual dengan pembeli. Owyang, Tran, & Silva (2013) menemukan 27 dari 30 pelaku startup menerapkan online atau mobile payment melalui kartu kredit.