Collaborative Lifestyles
Collaborative Lifestyles
By: Lim Sanny
Dalam collaborative lifestyles yang menjadi objek transaksi tidak terpaku pada barang berwujud seperi mobil, sepeda, dan barang-barang bekas lainnya. Namun, masyarakat yang memiliki minat yang sama juga membagikan dan mentransaksikan aset-aset tidak berwujud lainnya seperti waktu, ruang, keahlian, dan uang (Schiel, 2015: 12; Glind, 2013: 15). Gaya hidup kolaboratif terdiri dari interaksi orang-orang dengan minat yang sama dan keinginan untuk berbagi aset yang cenderung tidak berwujud serta karena menyangkut sharing berdasarkan interaksi sosial, maka tingkat kepercayaan yang tinggi diantara peserta sistem diperlukan (Pizzol, 2015: 4). Sistem ini diimplememtasikan dengan baik oleh beberapa platform seperti layanan berbagi ruang kerja (Citizen Space), barang (Neighborrow), tugas atau pekerjaan (TaskRabbit), lahan perkebunan (Urban Gardenshare), keahlian (Brooklyn Skillshare), makanan (Neighborhood Fruit), hingga lahan parkir (ParkatMyHouse). Akan tetapi, jauh daripada itu semua, internet telah berperan penting dalam mewujudkan collaborative lifestyles yang melampaui batas-batas fisik sehingga layanan tersebut dapat dinikmati kapanpun dan di manapun (Botsman & Rogers, 2010: 99). Contohnya adalah Zopa dan Prosper yang merupakan layanan peer to peer lending yaitu sebuah platform yang mempertemukan pemberi pinjaman maupun investor kepada orang yang membutuhkan dana pinjaman, dengan kata lain mempertemukan kreditur dengan debitur yang membutuhkan (Perdana & Triwijanarko, 2017).
Di Indonesia, layanan peer to peer lending sudah mulai tumbuh, di mana hingga Agustus 2017 fintech startup P2P telah menyalurkan dana sebesar Rp 1,44 triliun, beberapa diantara banyak perusahaan fintech besar di Indonesia adalah Amartha dan Modalku (Nabila, 2017). Selain itu, platform yang fokus pada aktivitas perjalanan atau travel seperti CouchSurfing dan Airbnb juga tengah populer. Keduanya telah menjadi kompetitor kuat yang mampu menggoyahkan bisnis hotel konvensional, Airbnb mempertemukan supply dan demand dengan baik. Di mana supply tersebut dipicu oleh keinginan pengguna yang ingin menyewakan kamar, apartment maupun rumah mereka agar dapat termanfaatkan. Disisi lain, ada permintaan dari konsumen untuk mendapatkan kamar dengan harga yang terjangkau. Memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi merupakan suatu keharusan dalam collaborative lifestyles karena melibatkan interaksi antar manusia. Oleh karena itu, kepercayaan menjadi kunci untuk membangun hubungan dan konektivitas dalam bertransaksi
pada collaborative lifestyles (Botsman & Rogers, 2010: 100).
Comments :