By: Agus Mariyadi & Bintoro Tri Wicaksono

Lingkungan ekonomi adalah kondisi ekonomi di Negara tempat organisasi internasional beroperasi. Kondisi ekonomi memiliki dampak yang kuat terhadap kinerja dari setiap bisnis karena dapat mempengaruhi pendapatan atau beban dari bisnis tersebut.

Ketika perekonomian kuat, tingkat lapangan kerja tinggi, dan kompensasi yang dibayarkan kepada karyawan juga tinggi. Oleh karena orang memiliki penghasilan yang relative baik dalam kondisi ini, mereka membeli sejumlah besar produk. Perusahaan yang menghasilkan produk-produk ini memperoleh manfaat dari besarnya permintaan. Perusahaan mempekerjakan banyak karyawan untuk memastikan bahwa perusahaan dapat menghasilkan produk dalam jumlah yang mencukupi guna memenuhi permintaan. Perusahaan juga dapat membayarkan upah yang tinggi kepada karyawan.

Ketika perekonomian lemah, perusahaan cenderung memberhentikan sebagian karyawannya dan tidak mampu membayarkan upah yang tinggi. Karena orang memiliki penghasilan yang relative rendah dalam kondisi ini, maka mereka membeli produk dengan jumlah yang sedikit. Perusahaan yang menghasilkan produk-produk ini sangat terpukul karena perusahaan tidak dapat menjual seluruh produk yang dihasilkannya. Konsekuensinya perusahaan mungkin perlu memberhentikan sebagian karyawan. Dalam kondisi ini, beberapa perusahaan mengalami kegagalan, dan seluruh karyawannya kehilangan pekerjaan sehingga membuat tingkat penggangguran meningkat.

Kondisi ekonomi juga penting bagi organisasi non bisnis. Ketika ekonomi lemah, sumbangan untuk universitas negeri akan turun, dan organisasi amal seperti Salvation Army akan diminta memberikan bantuan lebih besar pada saat yang sama ketika pendapatan mereka turun. Rumah sakit dipengaruhi ketersediaan dana dari Pemerintah dan jumlah pasien berpendapatan rendah yang harus mereka rawat cuma-cuma.

Krisis ekonomi yang terjadi pada bulan juli tahun 1997 hingga kini terus berlanjut menerpa perekonomian Indonesia. Banyak dari kalangan yang menilai krisis tersebut merupakan akar dari munculnya krisis multidimensi saat ini. Keadaan ini memiliki dampak yang cukup signifikan pada penurunan kinerja ekspor berbagai produk. Banyak usaha berskala besar yang mengalami stagnasi, bahkan collaps. Namun, di sisi lain, Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) justru semakin eksis dan survive di tengah krisis ekonomi yang dialami oleh bangsa ini. Hal ini terlihat dengan bertambahnya jumlah UMKM setiap tahunnya. Pada tahun 2012 tercatat bahwa jumlah UMKM sebanyak 56.539.560 unit dengan jumlah tenaga kerja yang diserap sebanyak 107.657.509 jiwa. Sedangkan pada tahun 2013 jumlah UMKM meningkat menjadi 57.900.787 unit, dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 114.144.082 jiwa (www.depkop.go.id).

Eksistensi UMKM yang kian bertambah secara kuantitas, semakin memperkokoh keberadaannya dalam kancah perekonomian Indonesia. Disebutkan bahwa UMKM berperan penting dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi semua Negara termasuk negara-negara maju. Peranan dan manfaat UMKM sangat dirasakan penting karena karakteristik-karakteristiknya yang membuatnya berbeda dari usaha besar, terutama karena UMKM adalah usaha-usaha yang banyak menyerap tenaga  kerja, terdapat             hampir di setiap lokasi terutama di pedesaan, lebih mengandalkan bahan-bahan baku lokal, dan  penyedia          utama barang-barang dan jasa kebutuhan pokok masyarakat berpendapatan rendah atau miskin (Tulus, 2009 : 2-3).

Meski demikian, pengembangan UMKM bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Berbagai persoalan yang menjadi kendala untuk pengembangan UMKM di Indonesia. Kondisi ini berujung pada lemahnya daya saing produk UMKM terutama terhadap produk impor. Salah satu persoalan utama yang dihadapi UMKM antara lain keterbatasan infrastruktur dan akses administratif terkait dengan perijinan dan birokrasi serta tingginya tingkat pungutan. Dengan segala persoalan yang ada, pengembangan UMKM yang memiliki potensi cukup besar dalam berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional menjadi terhambat.

  1. Content The Economic Environments Facing Business.
  2. Tinjauan Umum UMKM di Indonesia

Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu bidang yang memberikan kontribusi yang signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan daya serap UMKM terhadap tenaga kerja yang sangat besar dan dekat dengan rakyat kecil. Statistik pekerja Indonesia menunjukan bahwa 99,5 % tenaga kerja Indonesia bekerja di bidang UMKM. Hal ini sepenuhnya disadari oleh pemerintah, sehingga UMKM termasuk dalam salah satu fokus program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia. Kebijakan p emerintah t e rhadap U M KM d i tuangkan d alam s ejumlah Undang-undang dan peraturan pemerintah (Jaidan, 2010 : 160).

UMKM merupakan sumber kehidupan ekonomi dari sebagian besar rakyat dan tersebar di seluruh daerah, desa dan kota, serta meliputi hampir seluruh jenis lapangan usaha yang ada. Ketangguhan UMKM sebagai salah satu pilar yang dapat menopang perekonomian bangsa telah terbukti, karena sektor ini mampu bertahan hidup dan bersaing di tengah krisis ekonomi. Keunggulan UMKM dibuktikan pasca kerusuhan Mei 1998 dimana UMKM mampu bertahan sampai sekarang sebagai penyelamat perekonomian nasional. Sementara bidang usaha lain justru tiarap dan porak-poranda dan bahkan gulung tikar. UMKM merupakan jenis usaha yang memiliki daya tahan dan fleksibilitas yang baik dalam menghadapi dinamika kehidupan ekonomi suatu negara (Prihatin, 2001 : 87-88).

  1. Masalah dan Tantangan UMKM di Indonesia

Masalah UMKM di Indonesia bisa dikelompokkan menjadi dua jalur, yakni internal dan eksternal, adapun perinciannya adalah sebagai berikut (Jaidan, 2010 : 161-162):

+ Faktor Internal

  1. Kurangnya Permodalan

Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya permodalan UMKM, oleh karena pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan pada modal dari si pemilik yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh, karena persyaratan secara administratif    dan teknis yang  diminta oleh tidak dapat dipenuhi.

  1. Sumber Daya Manusia (SDM) yang Terbatas

Sebagian besar usaha kecil tumbuh   secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Di samping itu dengan keterbatasan SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya.

  1. Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar

Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, oleh karena produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik.

+ Faktor Eksternal

  1. Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif

Kebijaksanaan pemerintah untuk menumbuhkembangkan UMKM, meskipun dari tahun ketahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dengan pengusaha-pengusaha besar.

  1. Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha

Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu       pengetahuan dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak cepat berkembang dan kurang mendukung     kemajuan usahanya            sebagaimana yang diharapkan.

 

  1. Implikasi Otonomi Daerah

Dengan  berlakunya  Undang-undang  No.  22 Tahun  1999  tentang Otonomi Daerah, kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat. Perubahan sistem ini akan mengalami implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah berupa pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada UMKM. Jika kondisi ini tidak seg era dibenahi maka akan menurunkan daya saing UMKM. Disamping itu semangat kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi yang kurang menarik bagi pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut.

  1. Implikasi Perdagangan Bebas

UMKM harus mempersiapkan kualitas produk untuk mampu bersaing dengan produk import ketika menghadapi persaingan bebas. Maka disini dibutuhkan kreativitas dan inovasi bagi pelaku usaha untuk tetap dapat berkarya dengan produknya.

  1. Sifat Produk Dengan Lifetime Pendek

Sebagian besar produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai produk produk fasion dan kerajinan dengan lifetime yang pendek.

  1. Terbatasnya Akses Pasar

Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara kompetitif baik di pasar nasional maupun internasional.

 

  1. Persaingan Bebas Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau disebut juga ASEAN Economicy Community (AEC) adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN yang direncanakan akan tercapai pada tahun 2015. MEA adalah komunitas ASEAN (ASEAN Community) di bidang Ekonomi atau ASEAN Economic Community (AEC) yang dicanangkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-9 di Bali pada tahun 2003, atau dikenal sebagai Bali Concord II. Pembentukan komunitas tersebut diprakarsai oleh para Kepala Negara ASEAN pasca krisis ekonomi tahun 1997 di kawasan Asia Tenggara. MEA diharapkan dapat mewujudkan tercapainya suatu kawasan stabil, makmur, berdaya saing tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang berimbang serta berkurangnya kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi. Bali Concord II tidak hanya menyepakati pembentukan MEA, namun juga menyepakati pembentukan komunitas ASEAN di bidang Keamanan Politik ( ASEAN Political-Security Community ) dan Sosial Budaya ( ASEAN Socio Culture Community ) (Syukriah, 2013 : 112).

Untuk mewujudkan MEA pada tahun 2015, sebagaimana kesepakatan dalam Bali Concord II, telah disusun ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint sebagai pedoman bagi negara-negara anggota ASEAN. Empat pilar utama dalam AEC Blueprint yaitu: (1) ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran b ebas b arang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas; (2) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan dan e-commerce; (3) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah serta pemrakarsa integrasi ASEAN untuk negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam); dan (4) ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.

Beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur daya saing sebuah produk diantaranya adalah:

1)         Pangsa ekspor per tahun (% dari jumlah ekspor).

2)         Pangsa pasar luar negeri per tahun (%)

3)         Laju pertumbuhan ekspor per tahun (%)

4)         Pangsa pasar dalam negeri per tahun (%)

5)         Laju pertumbuhan produksi per tahun (%)

6)         Nilai atau harga produk

7)         Diversifikasi pasar domestic

8)         Diversifikasi pasar ekspor, dan

9)         Kepuasan konsumen (Susilo, 2010 : 72).

Pembentukan Komunitas ASEAN 2015 berlandaskan pada 3 pilar, yaitu Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community), dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community). Komunitas Ekonomi ASEAN ( ASEAN E conomic C o m munity/AEC) 2015, akan diarahkan kepada pembentukan sebuah integrasi ekonomi kawasan dengan mengurangi biaya transaksi perdagangan, memperbaiki fasilitas perdagangan dan bisnis, serta meningkatkan daya saing sektor UMKM (Kementerian Koperasi dan UKM, Http://Depkop. Go.Id/Index).

  1. Strategi Meningkatkan Daya Saing UMKM
  2. Pengertian Daya Saing

Daya saing global yang rendah dari UMKM secara di NSB dapat menjadi suatu hambatan serius bagi kelompok usaha tersebut bukan saja untuk menembus pasar global, tetapi juga untuk bisa memenangi persaingan dengan barang-barang impor di pasar domestik. Maka strategi yang harus dilakukan oleh sebuah perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya terdiri dari dua (2) komponen atau sub-strategi. Komponen pertama, strategi untuk memenuhi/pengadaan kelima prasyarat utama tersebut. Pertanyaannya disini adalah: bagaimana pengadaan pendidikan, modal, teknologi, informasi dan input secara kontinu dan efisien? Komponen kedua, strategi untuk menggunakan secara optimal kelima prasyarat tersebut menjadi suatu produk yang kompetitif (Tulus, 2009 : 91).

  1. Keunggulan Kompetitif

Menurut pendekatan RBV, keunggulan kompetitif dapat diciptakan jika perusahaan secara efektif dapat mengidentifikasi, mengembangkan dan mendayagunakan sumber daya strategisnya untuk memaksimasi pendapatan. Sedangkan untuk dapat mengidentifikasi, mengembangkan dan mendayagunakan sumber daya strategisnya guna memperoleh keunggulan kompetitif, suatu perusahaan harus memiliki sifat entrepreneurial, yaitu kecenderungan untuk menghadapi risiko, inovasi dan sikap proaktif (Miller, 1983 : 770-791).

Keunggulan kompetitif akan diperoleh perusahaan yang memiliki aset dan kapabilitas yang khas dan bisa mengaitkan kapabilitas internal perusahaan dengan apa yang diminta pasar dan ditawarkan pesaing. Profitabilitas ditentukan oleh jenis dan sumber daya yang unik serta kapabilitas yang khas.

Beberapa aset sumber daya (Resource-Based View atau RBV) kunci tertentu akan memberikan perusahaan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Walaupun sebuah perusahaan akan berhasil jika memiliki sumber daya yang paling sesuai dan paling baik untuk usaha dan strateginya. Akan tetapi apabila pesaing dapat saling meniru, maka keunggulan kompetitif yang b erkelanjutan tidak dapat diperoleh sehingga keuntungan di atas rata-rata tidak dapat dicapai (Kuncoro, 2003 : 14-18).

Menurut  Pendekatan  RBV  ada  tiga  sumber  daya yang harus dijaga oleh perusahaan karena merupakan fondasi utama dari sebuag perusahaan, yaitu (Pearce, 2009:39):

  1. Aset yang terlihat (tangible asset) adalah aset yang paling mudah diidentifikasi dan sering ditemukan pada neraca perusahaan. Yang termasuk dalam asei ini adalah fasilitas produksi, bahan mentah, sumber daya financial, asset real, dan computer.
  2. Aset yang tak terlihat (intangible asset), yang termasuk jenis aset ini adalah merek, reputasi, moral organisasi, pengetahuan teknis, hak paten, merk dagang, dan akumulasi pengalaman dari suatu perusahaan.
  3. Kapabilitas organisasi bukan termasuk input yang spesifik sebagaimana aset terlihat, melainkan keahlian berupa kemampuan dan cara mengkombinasi aset, manusoa dan proses yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengubah input menjadi output.
  4. Unsur – Unsur RBV
  5. Kapabilitas

Kapabilitas adalah keahlian berupa kemampuan dan cara mengkombinasikan aset, tenaga kerja dan proses yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengubah input menjadi output. Kapabilitas juga dapat dikatakan sebagai kemampuan perusahaan untuk mengintregrasikan sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Husni, 2009 : 50).

  1. Kompetensi Inti

Kompetensi inti merupakan apa yang dilakukan perusahaan, yang bernilai secara strategik.  Esensi kompetensi merupakan hal yang membuat perusahaan menjadi unik dalam         hal kemampuannya menawarkan        nilai kepada para pelanggannya. Dengan demikian kompetensi inti adalah nilai utama perusahaan dalam menciptakan keahlian dan kapabilitas yang disebarkan melalui bermacam garis produksi ataupun bisnis (Pearce, 2009 : 78).

  1. Analisis Lingkungan Perusahaan

Dalam memperoleh keunggulan kompetitif, menurut Porter perusahaan harus mampu mengidentifikasi lingkungan perusahaan yang sering berubah-ubah setiap saat. Analisis lingkungan perlu dilakukan sesuai dengan general system theory, yaitu “ organisasi merupakan sistem terbuka, dan organisasi modern secara kontinyu berinteraksi dengan lingkungannya.” Struktur lingkungan biasanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (Tedjo, 2005 : 106-107):

 

  1. General Environment (lingkungan Umum atau lingkungan internal)

General Environment adalah komponen-komponen diluar organisasi yang tidak memiliki hubungan langsung dengan manajemen praktis. Lingkungan umum meliputi aspek ekonomi, sosial, politik, legal, dan teknologi.

  1. Politik

Politik merupakan cara dalam membagi dan medapatkan kekuasaan. Tingkatan faktor politik ada tiga yaitu internasional, nasional dan daerah atau lokal. Peran pemerintah dalam ranah politik biasanya karena kebijakan dan peraturan yang mereka tetapkan. Beberapa contoh peran pemerintah dalam faktor politik antara    lain:

1) Kebijakan kesehatan, k etenagakerjaan, bea masuk, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.

2) Pekerjaan pemerintah dan sektor publik.

3) Kebijakan fiskal atau pajak.

4) Kebijakan mengenai pelestarianl ingkungan seperti polusi dan limbah.

  1. Ekonomi

Salah satu faktor ekonomi yang cukup berpengaruh adalah nilai tukar mata uang. Hal ini akan berdampak pada perusahaan-perusahaan yang mengimpor bahan baku dari luar negeri. Jika nilai tukar dalam negeri menurun maka biaya utuk mendatangkan bahan baku akan jauh lebih besar.

 

  1. Sosial

Faktor sosial tersebut antara lain: Sikap, nilai, kepercayaan, Kebudayaan, dan Demografi. Faktor sosial biasanya langsung berhubungan dengan konsumen atau pelanggan perusahaan.

  1. Teknologi

Saat ini perkembangan teknologi sangat berpengaruh terhadap daya saing perusahaan. Perkembangan tenologi yang terjadi sebaiknya terus mendapatkan perhatian seingga perusahaan juga tidak ketinggalan dengan perusahaan lainnya.

  1. Internal Environment (Lingkungan Internal)

Internal Environment atau sering kita sebut dengan lingkungan internal adalah komponen-komponen yang datang dari dalam perusahaan itu sendiri. Pendekatan ini berupaya untuk mengidentifikasi dan menilai faktor-faktor internal yang mencakup kemampuan perusahaan, keterbatasan, dan ciri-cirinya yang biasanya dikategorisasikan pada, (1) posisi pasar, (2) keuangan dan akunting, (5) produksi yang berarti aspek teknis dan operasional perusahaan), (4) sumber daya manusia, dan (5) struktur organisasi dan manajemen.

  1. Klaster Industri
  2. Pendekatan Strategi Alternatif

Sudah sejak lama bahwa fenomena klaster telah menarik perhatian para ekonom untuk terjun dalam studi masalah lokasi, sehingga memunculkan paradigma baru yang disebut geografi ekonomi baru (new economic geography atau geographical economics). Argumentasi ini dikuatkan oleh fakta bahwa peta ekonomi dewasa ini didominasi oleh apa yang dinamakan klaster (cluster). Hal senada juga ditegaskan oleh Kuncoro bahwa industri cenderung beraglomerasi di daerah-daerah di mana potensi mereka mendapat manfaat akibat lokasi perusahaan yang saling berdekatan (Kuncoro,, 2003 : 1).

Dalam kaitannya dengan UMKM, pertumbuhan UMKM mulai menjadi topik yang cukup hangat sejak munculnya tesis flexible specialization pada tahun 1980-an, yang didasari oleh pengalaman dari sentra-sentra Industri Skala Kecil (ISK) dan Industri Skala Menengah (ISM) di beberapa negara di Eropa Barat, khusus nya Italia. Sebagai contoh kasus, bahwa pada tahun 1970-80an, pada saat Industri Skala Besar di Inggris, Jerman dan Italia mengalami staknasi atau kelesuan, ternyata Industri Skala Kecil (terkonsentrasi di lokasi tertentu membentuk sentra-sentra yang membuat produk-produk tradisional mengalami pertumbuhan yang pesat dan bahkan mengembangkan pasar ekspor untuk barang-barang tersebut dan menyerap banyak tenaga kerja. Pengalaman ini menunjukkan bahwa industri kecil di sentra-sentra dapat berkembang lebih pesat, lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan p asar, dan dapat meningkatkan produksinya daripada industri kecil secara individu di luar sentra (Kuncoro,, 2003 : 1).

Dengan Karakter klaster yang seperti itu dilihat memiliki potensi di dalam usaha pengembangan ekonomi. Karena itu, pola klaster kemudian menjadi salah satu pendekatan (approach) yang menjadi rekomendasi sejumlah ilmuwan dan dipakai oleh pengambil kebijakan di dalam mengembangkan industri di suatu daerah atau negara. Pendekatan klaster tampaknya merupakan pilihan yang bijaksana bagi pengembangan UMKM di masa mendatang. Dalam penggunaan Pendekatan klaster juga disebut dengan pendekatan yang sistematik dalam upaya mengembangkan UMKM.

 

  1. Unit – Unit Cluster

Klaster merupakan pengelompokan berbagaiperusahaan pada sektor usaha yang sama dalam suatu wilayah tertentu. Dalam suatu klaster terdiri dari perusahaan inti (core industri) yaitu produsen produk utama klaster, industri terkait (related Industries) yaitu usaha penunjang bagi produksi seperti pemasok bahan baku, industri pendukung (supporting industries) dan jasa lainnya yang dalam pengembangannya tidak difokuskan inti saja melainkan secara keseluruhan seperti pedagang perantara. Kunci keberlangsungan pengembangan klaster yaitu terciptanya kerjasama antara stakeholder dan efisiensi kolektif yang dapat dilakukan pada semua lini tahapan produksi mulai dari penyediaan input produk, proses produksi, pemasaran dan distribusi hingga ke konsumen akhir. Jalinan kerjasama dalam lingkungan usaha klaster memberikan manfaat positif dengan menciptakan rantai nilai produksi yang saling menguntungkan sehingga produktivitas usaha saling dapat ditingkatkan.

  1. Keuntungan Cluster

Dalam pandangan Marshall, sentra-sentra industri itu, yang di dalamnya terdapat industri kecil dan menengah (IKM), telah memperoleh keuntungan karena berada di dalam suatu wilayah yang berdekatan (geographical proximity). Di antaranya adalah tersedianya tenaga kerja yang memiliki ketrampilan khusus dan sangat dibutuhkan oleh perusahaanperusahaan (labour pool) dan adanya pertukaran informasi  dan gagasan (knowledge spill-over).

Keuntungan-keuntungan yang didapat dari kedekatan dengan perusahaan-perusahaan lain    itu disebut penghematan eksternal (external economies). Keuntungan demikian berbeda dengan keuntungan akibat penghematan internal (internal economies), yakni penghematan-penghematan biaya yang terjadi di dalam suatu unit perusahaan itu sendiri, termasuk adanya efisiensi.

Dengan memutuskan untuk membangun sebuah klaster, diharapkan akan memiliki beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pengembangan klaster industri, diantaranya (Yuli, 2011):

  1. Menciptakan manfaat ekonomi dan daya saing.
  2. Meningkatkan efisiensi dan produktivitas bagi perusahaan di dalam klaster s erta p eningkatan kemampuan inovasi yang melibatkan lembaga penelitian.
  3. Mengurangi biaya transportasi dan transaksi, meningkatkan efisiensi, menciptakan aset secara kolektif dan memungkinkan terciptanya inovasi yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing.
  4. Memiliki keunggulan dalam     memanfaatkan aset sumberdaya secara kolektif untuk mendorong diversifikasi produk dan meningkatkan terciptanya inovasi.
  5. Mendorong terjadinya spesialisasi produksisesuai dengan kompetensi inti dan mendorong transformasi keunggulan komparatif menjadikeunggulan kompetitif (Porter: 1998).

Pendekatan strateginya yang tepat adalah melalui clustering, yang berarti program utama peningkatan daya saing UKM (dan koperasi) adalah program pengembangan klaster-klaster (atau sentra-sentra) UKM. Pendekatan clustering ini sudah terbukti di banyak negara seperti di Eropa dan lainnya, pendekatan ini sangat ampuh dalam meningkatkan kemampuan inovasi dan daya saing global dari UKM. Di dalam literatur mengenai pengembangan UKM sudah ada kesepakatan bersama bahwa paling tidak ada tiga keuntungan utama dari pengembangan UKM berdasarkan clustering (Tulus, 2001 : 106):

  1. UKM lebih mudah men gatasi semua kekurangan/hambatan d alam segala aspek bisnis mulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi, distribusi dan pemasaran, pendanaan, perbaikan mesin, dll, dibandingkan jika UKM beroperasi sendiri-sendiri. UKM di dalam sebuah klaster akan menikmati apa yang dimaksud dengan ”keuntungan ekonomi aglomorasi”.
  2. Lebih efisien dan efektif dalam pemberian bantuan atau kerjasama antara UKM dengan pihak lain, misalnya, UB dalam kegiatan subcontracting, perbankan dalam penyaluran kredit, dan eksportir, pedagang atau distributor dalam pemasaran. Efek ini disebut juga sebagai “efisensi kolektif”.
  3. Proses peralihan teknologi/pengetahuan dari sumber luar (misalnya dari perusahaan multinasional; MNCs) ke UKM dan penyebarannya antara sesama UKM lebih gampang, lebih efisien, dan lebih efektif di dalam sebuah klaster dibandingkan jika unit- unit UKM sangat terpencar lokasinya satu dari yang lainnya. Ini artinya juga bahwa inovasi lebih mudah terjadi di dalam sebuah klaster. Pengalaman dari UKM di sentra industri logam di Tegal (Jawa Tengah) membuktikan pentingnya peran dari MNCs dalam peralihan teknologi, di satu sisi, dan penyebaran dari teknologi tersebut antar sesama UKM di dalam sentra tersebut. Bahkan peran MNCs lebih besar daripada bantuan teknis dari pemerintah lewat penyediaan unit-unit pelayanan teknis (UPT).
  4. Conclusian The Economic Environments Facing Business

Pemberlakuan MEA dapat membawa dampak positif dan negatif terhadap UMKM yang ada. Untuk menghadapi d ampak negatif yang ada, perlu adanya starategi agar UMKM tetap dapat eksis dan terus berkembang. Salah satu strategi tersebut adalah pendekatan klaster. Pendekatan ini dilakukan dengan mengelompokkan industri inti yang saling berhubungan, baik industri pendukung (supporting industries), industri terkait (related industries), jasa penunjang, infrastruktur ekonomi, penelitian, pelatihan, pendidikan, infrastruktur informasi, infrastruktur teknologi, sumber daya alam, serta lembaga-lembaga-lembaga terkait. Klaster juga merupakan cara untuk mengatur beberapa aktivitas pengembangan ekonomi.

Strategi Meningkatkan Daya Saing Industri dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini dilakukan dengan:

  1. Penggunaan kompetensi inti dalam mengupayakan untuk meningkatkan daya saing klaster.
  2. Menciptakan kunggulan kompetitif yang dimiliki klaster yang didasarkan pada pendekatan RBV.
  3. References

Ana Syukriah dan Imam Hamdani, “Peningkatan Eksistensi UMKM Melalui Comparative Advantage dalam Rangka Menghadapi MEA 2015 Di Temanggung”, dalam Jurnal Economics Development Analysis Journal, Edaj 2 (2) (2013)

Husni Mubarok, Manajemen Strategi, Idea, Yogyakarta, 2009.

I Wayan Dipta, Revitalisasi Koperasi Indonesia Menghadapi Era Globalisasi, INFOKOP Volume 20 – Juni 2012

Jaidan Jauhari, “Upaya Pengembangan Usaha Kecil Dan Menengah (UKM) Dengan Memanfaatkan E-Commerce”, dalam Jurnal Sistem Informasi (JSI), Vol. 2, No. 1, April 2010.

Kacung Marijan, Mengembangkan Industri Kecil Menengah Melalui Pendekatan Klaster, dalam Jurnal INSAN Vol. 7 No. 3, Desember 2005.

Kementerian Koperasi dan UKM, Http://Depkop.Go.Id/Index. Diakses Tgl 18 Desember 2014 Pukul 12:30

Mudrajad Kuncoro,    “Strategi Bagaimana Meraih   Keunggulan Kompetitif”, Erlangga, Jakarta, 2005.

Mudrajad Kuncoro, Irwan Adimaschandra Supomo, Analisis Formasi Keterkaitan, Pola Klaster dan Orientasi Pasar: Studi Kasus Sentra Industri Keramik Di Kasongan, Kabupaten Bantul, D.I.Yogyakarta, Jurnal Empirika Volume 16, No.1, Juni 2003.

Mudrajat Kuncoro, Masalah, Kebijakan, dan Politik Ekonomika Pembangunan, Erlangga,kota, 2010.

Neddy Rafinaldy, “Memeta Potensi Dan Karakteristik UMKM Bagi Penumbuhan Usaha Baru”, dalam Jurnal Infokop Nomor 29 Tahun Xxii, 2006.

Pearce John A., Robinson Richard B., Formulation, Implementation, and Control of Competitive Strategy, McGraw Hill. 2009

Prihatin Lumbanraja, “Bersama UKM Membangun Ekonomi Rakyat Dan Lingkungan Hidup”, dalam Jurnal Ekonomi Vol 14, No 2, April 2001.

Rusdin, Bisnis Internasional Dalam Pendekatan Praktik, jilid 1, Alfabetta, Bandung,2002

Sartono, Agus, Manajemen Keuangan Teori Dan Aplikasi (4th ed), BPFE, Yogyakarta, 2010.

Sri Susilo,Strategi Meningkatkan Daya Saing UMKM dalam Implementasi CAFTA Dan MEA, dalam Jurnal Buletin Ekonomi Vol. 8, No. 2, Agustus 2010.

Suarja, W., Prospek Pengembangan Kredit Usaha Rakyat dalam Mendukung Pemberdayaan UMKM dan Koperasi, Harian Media Indonesia tanggal 23 November 2007, Jakarta

Tedjo Tripomo, Manajemen Strategi, Rekayasa Sains, Bandung, 2005, hlm. 106-107

 

Tulus T. H Tambunan, Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001.

Tulus T.H. Tambunan, UMKM Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009.

Widjajani, Gatot Yudoko, Industri Kecil Tradisional Dengan Pendekatan Berbasis Sumber Daya: Studi Kasus Pengusaha Industri Kecil Logam Kiara Condong, Bandung, dalam Jurnal Teknik Industri Vol. 10, No. 1, Juni 2008: 50-64.

Yuli Wibowo, et.al, Strategi Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut Yang Berkelanjutan, dalam Jurnal Agritek Volume 12 Nomor 1 Maret 2011.