Manajemen Lintas Budaya

Pada era globalisasi seperti saat ini terdapat banyak perusahaan atau organisasi internasional. Tidak dapat di pungkiri tentunya ada elemen – elemen di dalam organisasi atau perusahaan itu sendiri yang terdiri dari berbagai macam negara, suku bangsa, adat istiadat, agama, dan watak. Oleh karena itu tentunya dalam mengelola perusahaan atau organisasi tersebut dibutuhkan sisten untuk mengatur agar profesionalitas dapat tetap terjaga. Kita ambil contoh apabila dalam suatu kelompok yang terdiri dari berbagai macam sudut pandang terjadi suatu perselisihan, maka disinilah manajemen lintas budaya ini akan digunakan.

Budaya mempengaruhi perilaku, di mana budaya itu sendiri mendorong kembali manifestasi dari budaya. (Peter dan Olson, 1998). Perilaku yang dimiliki oleh seorang individu mungkin dipandang dan ditiru atau ditolak oleh individu yang lain. Hal tersebut kemudian menjadi norma-norma perilaku grup dan diidentifikasikan sebagai bagian dari budaya yang diperlihatkan di dalam populasi. Tindakan-tindakan manajemen bertindak sebagai suatu sarana untuk mentransfer arti-arti atau nilai-nilai yang secara kultural terdapat di lingkungan eksternal untuk diadopsi ke dalam organisasi, sehingga komunikasi yang digambarkan di dalam model merupakan suatu moderator utama dari pengaruh budaya terhadap perilaku. Kebanyakan riset-riset yang ada juga menyimpulkan pentingnya komunikasi untuk menyampaikan budaya yang ada di dalam suatu kelompok/grup.

Budaya mempengaruhi perilaku melalui manifestasi-manifestasinya, seperti yang diungkapkan oleh Hofstede, yaitu: Values, Heroes, Rituals, Symbols. Ini semua merupakan bentuk-bentuk di mana secara cultural penetapan knowledge disimpan dan diungkapkan. Karena itu, setiap budaya grup menghadapi manifestasi-manifestasi budaya yang berbeda pula.”

Manajemen lintas budaya sangat diperluakan dalam suatu kelompok internasional karena perbedaan latar belakang dari masing–masing komponen dalam kelompok tersebut tentunya mempengaruhi sifat dan cara kerja dari kelompok tersebut, disinilah peran manajemen sebagai alat komunikasi sehingga elemen–elemen tersebut dapat saling mengerti satu sama lain, agar kinerja dari masing–masing elemen itu sendiri dapat maksimal.

Manajemen lintas budaya tidak hanya berperan sebagai komunikator elemen dalam kelompok itu saja, tetapi manajemen lintas budaya juga membentuk budaya tersendiri didalam kelompok tersebut. Didalam penyesuaian para elemen dari kelompok lintas budaya tersebut tentunya ada beberapa hal yang harus dihadapi oleh para elemen kelompok tersebut seperti yang saya kutip dari “Barna (1983) menerapkan model tahapan Selye (1974) terhadap sindrom adaptasi yang umum untuk menjelaskan fase dari penyesuaian ekspatriat. Fase-fase tersebut adalah:

  1. Tahapan munculnya pertanda reaksi

Pada tahapan ini, para ekspatriat yang ditempatkan di Host Country mulai menunjukkan gejala-gejala reaksi terhadap culture shock. Mereka mulai menunjukkan tanggapan terhadap budaya yang berbeda yang harus mereka adaptasi.

  1. Tahapan perlawanan;

Selanjutnya, muncul sebuah tindakan-tindakan yang merujuk terhadap sebuah perlawanan dan konflik diri terhadap kebudayaan yang menyebabkan shock.

  1. Tahapan kejenuhan.

Ekspatriat yang telah mengalami konflik akan mendapati rasa jenuh dan letih akan budaya baru yang tidak dapat mereka adaptasi. Rasa letih ini dapat berupa letih fisik dan/atau letih rohani.

Anggapan Barna bahwa usaha dalam rangka memperpanjang dan menggiatkan aktifasi fisiologis terhadap karakteristik individu-individu yang mencoba untuk menyesuaikan lingkungan yang tidak familiar bagi mereka dapat menghasilkan culture-shock.

“Para peserta harus menilai kepentingan relatif dari karakteristik kepribadian yang dianggap berkontribusi pada kesuksesan ekspatriat itu. Sebuah analisis faktor dari tanggapan mengidentifikasi lima faktor pengetahuan pekerjaan dan motivasi, keterampilan relasional, fleksibilitas atau adaptasi, keterbukaan budaya ekstra, dan situasi keluarga. Situasi keluarga faktor peringkat tertinggi dalam urutan pentingnya, hasil yang menguatkan penelitian lain pada tugas internasional (hitam et al. 1999). Dalam rdanalysis data mereka, Arthur dan Bennett (1997) digunakan di Campbell (1990) teori kinerja pekerjaan sebagai kerangka dan uji coba terhadap empat model alternatif dari kinerja pekerjaan pengalihan internasional. Hasil analisis faktor konfirmatori menunjukkan bahwa delapan -faktor menunjukkan solusi paling cocok untuk data. Faktor-faktor yang berlabel fleksibilitas, situasi keluarga, manajemen atau administrasi, integritas, usaha, toleransi, lintas -wisata budaya dan keterbukaan.”

“Sebaliknya, hasil studi oleh Parker dan McEvoy (1993) menunjukkan bahwa penyesuaian bekerja di luar negeri terutama dipengaruhi oleh variabel organisasi (kompensasi dan peluang karir), sedangkan penyesuaian kehidupan secara umum terutama adalah fungsi dari faktor individu, organisasi, dan lingkungan dengan menggunakan data dari 169 ekspatriat. Hitam dan Gregersen (1991) juga menyelidiki hubungan antara pekerjaan individu, organisasi, dan non-kerja prediktor dan tiga aspek penyesuaian lintas budaya. Orang dan situasi karakteristik tampaknya menunjukkan pola hubungan yang kompleks dengan dimensi penyesuaian lintas budaya. Stahl (1998) mengeksplorasi strategi mengatasi dari 120 ekspatriat jerman yang ditugaskan ke Jepang dan Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua negara berbeda-beda dalam masalah dan konflik mereka hadir untuk ekspatriat. Setiap kelas dari situasi stres memerlukan satu set khusus untuk mengatasi kegiatan yang dapat dikaitkan dengan ciri-ciri kepribadian seperti kebutuhan untuk belajar, extraversion, dan empati, bagaimanapun, karakteristik kepribadian dari ekspatriat yang sukses di berbagai negara dan dengan pekerjaan yang berbeda menunjukkan varians kecil suatu menemukan bahwa mendukung gagasan dari jenis luar negeri umum.”

Manajemen lintas budaya dapat membantu kita memahami bagaimana lingkungan kelompok yang terdiri dari berbagai latarbelakang dan tentunya dapat menunjang kinerja dari elemen dalam kelompok tersebut.