Apakah program ESG adalah wine lama dalam botol baru?

Saat ini, perusahaan dan organisasi, baik di sektor publik maupun swasta, ingin menerapkan prinsip-prinsip LST. Meningkatnya minat terhadap prinsip-prinsip LST ini mengingatkan kita pada popularitas tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) di awal tahun 2000-an. Pada saat itu, perusahaan melakukan kegiatan CSR dengan harapan mendapatkan dukungan dari masyarakat, mendapatkan izin untuk beroperasi dan menghasilkan keuntungan. Pada masa itu, menjadi sangat umum untuk melihat perusahaan melakukan konferensi pers untuk mengumumkan program amal dan donasi mereka sebagai sarana untuk menunjukkan bahwa mereka memberi kembali kepada masyarakat.

Namun, minat tersebut perlahan-lahan memudar. Kegiatan CSR menjadi sesuatu yang dilakukan perusahaan karena adanya persyaratan peraturan. Kegiatan ini segera menjadi kegiatan yang hanya sekedar mencentang kotak, meskipun beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara kegiatan CSR tertentu dengan kinerja.

 

Apakah ESG akan mengikuti jejak CSR?

 

Kali ini mungkin akan berbeda karena, tidak seperti CSR, prinsip-prinsip ESG tampaknya dimulai dari kebutuhan bisnis. Ada hubungan yang kuat antara inisiatif ESG dan strategi bisnis.

Sejumlah penelitian telah memvalidasi hal ini. Misalnya, peneliti akuntansi dan ekonomi keuangan dari Spanyol pada tahun 2022 menemukan bahwa perusahaan-perusahaan di FTSE-250 yang memiliki tiga perempuan di ruang rapat lebih inovatif daripada perusahaan yang didominasi oleh laki-laki. Selain itu, penelitian McKinsey dan Companv pada tahun 2023 menunjukkan bahwa perusahaan yang menerapkan prinsip-prinsip LST menunjukkan pertumbuhan dan laba 7 persen lebih tinggi daripada sampel lainnya.

Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa dinamika di balik penerapan ESG-lah yang penting. Para eksekutif di perusahaan yang menerapkan nilai-nilai ESG cenderung lebih berpikiran terbuka dan oleh karena itu memiliki lebih banyak fleksibilitas dalam kemampuan kognitif mereka. Prinsip-prinsip keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI) tampaknya memaksa mereka untuk memahami sudut pandang alternatif.

Pola pikir yang fleksibel ini memungkinkan mereka untuk melawan jebakan “logika dominan” yang sering kali menghambat inovasi bagi banyak perusahaan. Pikirkan logika dominan sebagai kebiasaan mental yang dimiliki oleh para eksekutif. Dalam menghadapi ketidakpastian, para eksekutif memiliki kecenderungan untuk menggunakan perspektif dan metode yang berhasil di masa lalu, sehingga mencegah mereka untuk melihat alternatif yang mungkin diperlukan dalam menghadapi situasi baru dan menciptakan solusi yang inovatif.

Logika yang dominan adalah musuh terbesar para eksekutif tingkat atas di era teknologi baru saat ini. Kemunculan teknologi baru selalu membawa ketidakpastian, dan para eksekutif tidak dapat menggunakan perspektif dan metode yang telah mereka gunakan di masa lalu untuk menghadapi kemunculan teknologi baru, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

Kegagalan untuk melakukan hal tersebut telah terbukti menyebabkan perusahaan raksasa seperti Nokia jatuh. Sebuah studi mendalam yang dilakukan oleh para profesor dari sekolah bisnis terkemuka pada tahun 2015 mengaitkan kejatuhan kerajaan ponsel ini dengan kegagalan para pemimpin Nokia dalam mengantisipasi persaingan, yang disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk melihat perspektif alternatif. Jadi, bagaimana kita dapat mengembangkan prinsip-prinsip ESG sehingga dapat membantu para eksekutif tingkat atas menjadi lebih inovatif.

Pertama, menjauhlah dari inisiatif ESG yang didorong oleh ideologi. Pengalaman kami dengan CSR di tahun 2000-an menunjukkan bahwa inisiatif sosial yang didorong oleh ideologi hanya berumur pendek. Sebagai contoh, ketika champion CSR meninggalkan perusahaan, inisiatif tersebut sering kali berhenti dan perusahaan menganggap kegiatan CSR hanya sebagai formalitas yang harus dilakukan karena adanya persyaratan peraturan.

Profesor dari Harvard Business School, Michael Porter, memperkenalkan CSR yang telah dirubah, yang ia namakan Creating Shared Value (CSV), sebagai upaya untuk mengubah program CSR yang didorong oleh ideologi menjadi program CSR yang lebih berorientasi pada strategi. Perusahaan-perusahaan besar seperti Unilever dan Nestle telah berhasil menerapkan ide CSV Porter dan memperoleh manfaat dari inisiatif sosial ini.

Kedua, inisiatif ESG, oleh karena itu, harus didorong oleh strategi inovasi perusahaan. Agar berkelanjutan, inisiatif-inisiatif ini harus terlihat dalam proposisi nilai perusahaan dan terintegrasi dalam strategi bisnis mereka.

Sebagai contoh, seluruh industri panel surya didorong oleh strategi bisnis dan hal ini memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan ketika mulai menjauhkan pasar dari penggunaan bahan bakar fosil secara ekstensif.

Secara keseluruhan, penelitian telah menunjukkan bahwa dinamika di balik inisiatif ESG itu penting. Para eksekutif tingkat atas harus mempertimbangkan untuk menerapkan prinsip-prinsip LST agar dapat memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) – tetapi harus lebih dari sekadar formalitas.

 

Tautan artikel pada The Jakarta Post

Dr. Ari margiono