Mengenal Keunggulan Program DRM di BINUS BUSINESS SCHOOL
BINUS BUSINESS SCHOOL menyediakan program Doctor of Research in Management (DRM) yang merupakan jenjang tertinggi dalam pendidikan formal di bidang Manajemen. Program yang menekankan pada riset ini menawarkan dua pilihan, yaitu Scholar Track dan Strategy and Growth. Keduanya memiliki fokus berbeda yang disesuaikan dengan minat dan kebutuhan calon mahasiswa doktoral. Simak perbedaan juga keunggulannya.
Jakarta – Belum banyak perguruan tinggi menawarkan program S3 Bisnis & Manajemen. Umumnya pendidikan doktoral yang ditawarkan adalah S3 Ilmu Ekonomi yang cakupan keilmuannya cukup luas, dimana bidang Manajemen adalah salah satu konsentrasi di dalamnya. Dengan perkembangan bisnis yang amat pesat, diperlukan penajaman fokus dan keahlian dalam bidang Manajemen dan Bisnis itu sendiri, jadi Manajemen lebih tepat diposisikan menjadi sebuah disiplin ilmu dan bidang kajian tersendiri, tidak menjadi sub atau konsentrasi dari Ilmu Ekonomi. Hal ini akan membuat para praktisi maupun akademisi bidang Manajemen dapat aktif berkontribusi mengembangkan cakupan maupun kedalaman batang tubuh (body of knowledge) ilmu Manajemen. Landasan inilah yang digunakan sejak awal pembentukan dan diteruskan dengan pengembangan Prodi DRM BBS.
“Dari awal memang ilmunya manajemen tidak bercampur dengan ilmu ekonomi,” kata Dr. Asnan Furinto, Head of AoKI – Marketing, Science & Analytics, Doctor of Research in Management, BINUS BUSINESS SCHOOL (BBS). Program DRM, sesuai namanya, menekankan pentingnya proses dan luaran riset yang berkontribusi pada pengembangan keilmuan dan perbaikan praktek-praktek terbaik dan dan terkini dalam manajemen. Hal ini tercermin dalam tagline DRM yaitu “turning rigor into relevance”, yang kurang lebih maknanya adalah menggunakan kekuatan struktur teori dan konsep untuk sebesar-besarnya kemaslahatan dan perbaikan praktek manajemen.
“Jadi doktor dari DRM bukan hanya bemodalkan pengalaman atau studi literatur. Kami membentuk lulusan DRM ini agar dapat meriset dengan kaidah ilmiah yang dapat diterima oleh standar komunitas ilmiah global, harus bisa publikasi ilmiah di jurnal yang bereputasi, dan mereka diarahkan untuk terlibat dalam berbagai macam kegiatan intra dan extra kurikuler yang berpusat pada riset” Asnan menjelaskan.
Dua Pilihan
Lebih lanjut, DRM memberikan dua pilihan jalur berdasarkan minat calon mahasiswa, yaitu Scholar Track (ST) dan Strategy and Growth (SG). ST lebih mengarah kepada pengembangan keilmuan atau kontribusi teoritis. Asnan membandingkan jalur ini dengan PhD (Doctor of Philosophy) di luar negeri, sedangkan SG lebih dekat ke DBA atau Doctor of Business Administration.
“Memang fokusnya (ST) kepada pengembangan keilmuan atau teori, pendekatannya lebih ke keilmuan, bagaimana akar ilmunya, sejarahnya, dan mengembangkan ilmu lebih lanjut,” kata dia.
Strategy and Growth, lanjut Asnan, lebih mengarah ke kontribusi perbaikan praktik-praktik manajemen strategis. “Supaya di dunia industri ini bisa dilakukan banyak praktik baru yang inovatif, tapi berdasarkan penelitian ilmiah. Ini (seperti) jalur BBA.”
Perbedaan lain di antaranya, ST memiliki beberapa konsentrasi atau AoKI (Area of Knowledge Inquiry): Entrepreneurship & Innovation, Marketing Science & Analytic, Human Capital, dan Business Information System—khusus yang terakhir ini sedang dalam proses pengembangan lebih lanjut ke arah digital business.
Sementara itu, SG tidak memiliki konsentrasi karena fokusnya bukan pada keilmuan tertentu, melainkan pada best practices of strategic management. “Seperti satu konsentrasi independen yang di situ ada aspek marketing, human capital, finance, dan lain-lain. Karena namanya mengelola bisnis itu kan cross-discipline. Arahnya untuk kiat meningkatkan kompetensi organisasi, daya saing, dan keberlanjutan perusahaan” Asnan memaparkan.
Oleh karena itu, kedua jalur tersebut menarik semacam segmen market yang berbeda. Asnan menyatakan bahwa ketertarikan para calon mahasiswa S3 bisa beragam. Misalnya, mereka mengambil ST karena memang sejak awal sudah meniti karier sebagai dosen, akademisi, atau peneliti. Namun, bisa jadi pula mereka merupakan praktisi yang berminat untuk mendalami keilmuan tertentu.
“Bukan berarti ST ini hanya untuk akademisi. Alumni kami pun ada meskipun tidak mayoritas, yang notabene adalah praktisi tapi ambilnya ST karena ingin mendalami lebih lanjut keilmuan tertentu,” Asnan mengungkapkan.
Adapun mahasiswa DRM yang memilih SG kebanyakan merupakan praktisi atau para profesional yang sudah berpengalaman. Mereka, menurut Asnan, ingin berkontribusi kepada dunia industri yang digelutinya selama ini. Mereka diarahkan dan diperkuat kompetensinya agar dapat mengkombinasikan pengalaman praktek dan pengetahuan kaidah ilmiah agar dapat menghasilkan riset yang mendalam (insightful) dan aplikatif.
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan bagi akademisi untuk mengambil jalur SG. Contohnya, ketika mereka ingin menjadi konsultan manajemen atau berencana membuka perusahaan sendiri sehingga membutuhkan pengetahuan dan legitimasi terkait kompetensi praktek bisnis.
“Tapi (ST dan SG) kualitasnya sama, proses belajarnya juga kurang lebih sama ya. Mereka harus belajar teori dulu, kemudian ambil data, analisis, dan menguji model. Cuma beda starting point-nya, penekanan, dan fokusnya saja,” Asnan menegaskan.
Bahkan, DRM ini juga terbuka untuk semua kalangan, termasuk warga negara asing karena semua materi perkuliahan sudah menggunakan bahasa Inggris. Yang terpenting, lanjut Asnan, mahasiswa asing tersebut bisa mengerti bahasa Indonesia secara pasif karena perkuliahan masih menggunakan campuran bahasa Indonesia dan Inggris dalam komunikasi verbalnya.
“Di DRM ada mahasiswa ekspatriat. Dua orang sudah lulus (berasal) dari Pakistan. Satu masih kuliah (berasal) dari China. Mereka bekerja di Indonesia sudah cukup lama, jadi bisa bahasa Indonesia pasif. Mahasiswa asing tsb cukup dapat mengerti Bahasa Indonesia secara pasif, sedangkan kalau untuk bertanya, mereka dapat bertanya ke dosen dalam Bahasa Inggris, dosen tentunya bisa menjawab (pertanyaan) mereka dalam bahasa Inggris,” ucap Asnan.
Serba Mudah
BINUS BUSINESS SCHOOL memastikan bahwa progam DRM dilengkapi dengan ekosistem yang mendukung para mahasiswa untuk merampungkan kuliah doktoralnya secara tepat waktu. Ekosistem tersebut disebut sebagai Integrated Academic Support System (Intacts).
“Berangkat dari pengalaman kami sendiri juga, banyak sekali mahasiswa doktoral yang mengalami masalah dalam studinya itu lebih ke aspek non-substantif, jadi lebih ke operasional,” Asnan menceritakan.
Contohnya, lanjut dia, mahasiswa umumnya kesulitan mencari waktu untuk bisa bertemu dengan tim promotor atau dosen. Padahal, menurut Asnan kesulitan ini merupakan kendala teknis operasional yang tidak terkait dengan substansi penelitian atau disertasi mahasiswa.
“Nah kami ingin mahasiswa kami itu fokus kepada substansi. Kalaupun ada halangan itu harusnya lebih ke ketersediaan data, analisa dalam disertasinya belum tepat, atau belum memenuhi ekspektasi substansi dari tim promotor,” ucap Asnan.
Dalam Intacts ada banyak elemen penting yang mendukung kemudahan bagi mahasiswa DRM. Pertama, mahasiswa sudah mendapatkan academic advisor mulai semester satu sehingga bisa memperoleh dukungan mentoring dan dapat berdiskusi untuk mencari topik disertasi.
Kedua, DRM menyediakan tiga kali Supervisory Planery Forum pada tahapan proposal. “Semacam bimbingan terpadu wajib antara mahasiswa dengan tim promotor lengkap yang dikoordinir dan dijadwalkan oleh sekretariat DRM. Jadi mahasiswa tidak perlu pusing mengatur sendiri,” Asnan menjelaskan.
Selain itu, terdapat kolokium reguler internal—semacam konferensi mini—di mana semua dosen BBS bisa menjadi examiner. Jadi, mahasiswa berkesempatan mendapatkan masukan yang lebih luas terkait draf proposalnya.
“Di BBS juga ada Publication Unit yang membantu mahasiswa mencari jurnal yang tepat untuk paper-nya. Kadang mahasiswa itu sudah punya paper tapi mau publikasi ke mana enggak ada ide. Jadi mahasiswa tinggal buat paper lalu serahkan ke Publication Unit,” Asnan juga menekankan bahwa keuntungan ini sulit ditemukan di tempat lain.
Kelima, tersedia BINUS Doctoral Preparation Program, semacam matrikulasi di awal perkuliahan. Mahasiswa bisa mendapatkan penyegaran kembali tentang ilmu-ilmu dasar manajemen, statistik, dan lain sebagainya.
Mahasiswa DRM pun nantinya dapat mengakses Dissertation Monitoring App (saat ini dalam proses pembuatan) yang merupakan satu platform lengkap untuk komunikasi dan informasi perkuliahan. Mereka bisa mengecek tenggat waktu submit proposal, nilai mata kuliah, daftar publikasi yang tersedia, dan lain-lain.
Dukungan teknologi informasi yang telah mapan tersebut juga membuat perkuliahan semasa pandemi Covid-19 ini tak terganggu. Apalagi, DRM mulai bisa beradaptasi dengan kondisi, misalnya ujian telah dilakukan secara online.
Lebih dari itu, Asnan mengakui bahwa DRM memiliki ikatan alumni yang cukup solid. Mereka setiap saat bisa bersedia membantu saat sharing session. Salah satunya dalam forum BINUS Doctoral Progress Review (BDPR).
“BDPR ini memfasilitasi seluruh civitas academica DRM dalam satu forum. Jadi seperti seminar, di situ ada yang presentasi, ada speaker dari luar, ada kompetisi juga namanya Five-minute Dissertation,” lanjut Asnan.
Selama ini, seminar tersebut telah dilaksanakan di berbagai kota seperti, Malang, Jakarta, dan Bandung. Setelah pandemi, acara pun tetap dilaksanakan secara virtual.
“Masuk DRM sama saja dengan masuk dalam keluarga besar, sebuah ekosistem. Mereka mendapat akses ke resources di seluruh BINUS BUSINESS SCHOOL,” kata Asnan.