Posisi SDM Indonesia, Kelemahan dan Keuntungannya
Isu tentang rendahnya sumber daya manusia Indonesia, khususnya tenaga kerjanya bukan sesuatu yang perlu ditutup-tutupi. Berita yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara pengekspor tenaga kerja kasar terbesar di dunia adalah suatu fakta. Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), sepanjang Januari-Agustus 2017, sejumlah 148.258 TKI ditempatkan ke negara-negara di kawasan Asia-Pasifik, Amerika, Timur Tengah, dan Eropa. Penempatan TKI tersebut terbagi dalam dua sektor, formal dan informal. Pekerjaan dalam sektor formal contohnya pembantu rumahtangga, dan sektor informal di antaranya buruh dan karyawan. Dilihat dari latarbelakang pendidikan, para TKI yang bekerja di luar negeri masih didominasi lulusan SD dan SMP dengan angka 65%.
Melihat fakta tersebut, kebutuhan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia tidak bisa ditawar lagi. Apalagi di tengah era globalisasi saat ini, sumber daya manusia yang menguasasi IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) sangat diperlukan di berbagai sektor. Sebenarnya keberadaan sumber daya manusia Indonesia yang melimpah (lebih kurang 232, 516,8 juta jiwa) memiliki potensi yang cukup besar dalam memimpin perekonomian khususnya di kawasan Asia Tenggara karena persentase penduduknya yang 40,58% lebih banyak dibandingkan negara-negara anggota ASEAN lainnya.
Namun, dari segi kualitas SDM posisi Indonesia (meskipun naik jika dibandingkan tahun lalu) masih di bawah negara-negara ASEAN. Dari laporan World Economic Forum (WEF), dalam laporan berjudul Global Human Capital Report 2017 yang mengkaji kualitas SDM di 130 negara, berdasarkan sejumlah indikator yang dipakai, Indonesia berada di urutan ke-65. Sedangkan negara Singapura (peringkat 11), Malaysia (33), Thailand (40) dan Filipina (50). Adapun indikator yang dipakai dalam laporan ini, yakni capacity (kemampuan pekerja, berdasarkan melek huruf dan edukasi), deployment (tingkat partisispasi pekerja dan tingkat pengangguran), development (tingkat dan partisipasi pendidikan), dan know-how (tingkat pengetahuan dan kemampuan pekerja serta ketersediaan sumber daya) di tiap negara.
Tenaga kerja dengan kualitas tidak terlatih (unskill labour) adalah bagian terbesar dari seluruh tenaga kerja Indonesia. Yang dimaksud tenaga kerja tidak terlatih adalah tenaga kerja di luar tenaga kerja terdidik dan tenaga kerja terlatih. Jenis tenaga kerja ini umumnya berpendidikan formal paling dasar dan tidak memiliki keahlian memadai selain tidak memiliki pengalaman kerja sehingga pekerjaan yang diserahkan kepadanya pun tidak memerlukan keahlian spesifik. Seorang pekerja lulusan SD, SMP, dan tidak lulus SLTA dikategorikan sebagai tenaga kerja tidak terlatih. Sehingga pekerja seperti ini yang banyak ditempatkan sebagai buruh kasar, pembantu rumah tangga di luar negeri ini banyak kelemahan dan kerugiannya. Selain dibayar murah, mereka juga rentan terhadap pelanggaran hak azasi manusia yang bisa dilakukan oleh pengguna jasa mereka di tempat kerja. Tenaga kerja tidak terdidik ini pun memiliki posisi tawar yang sangat rendah di pasar tenaga kerja nasional dan global.
Menyambut bonus demografi Indonesia
Dari segi kuantitas (jumlah) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya posisi Indonesia sebenarnya sangat menguntungkan. Pada tahun 2020-2030 Indonesia diprediksi akan mendapatkan bonus demografi. Maksudnya jumlah usia angkatan kerja dengan usia 15-64 tahun mencapai 70% dan 30% nya adalah penduduk usia non produktif (14 tahun ke bawah dan 65 tahun ke atas). Artinya dalam kurun waktu 3-13 tahun ke depan, Indonesia akan memiliki banyak SDM yang berada pada puncak usia produktif. Usia produktif akan mencapai 180 juta, sedangkan non produktif hanya 60 juta jiwa. Mengapa usia produktif ini penting? Karena hal ini akan mempengaruhi angka ketergantungan penduduk. Bila tingkat penduduk produktif tinggi, angka ketergantungan penduduk akan rendah. Angka ketergantungan penduduk ialah tingkat penduduk produktif yang menanggung penduduk nonproduktif (usia tua dan anak-anak). Dari angka tersebut diperkirakan angka ketergantungan mencapai 44 per 100 penduduk produktif. Melimpahnya jumlah penduduk usia kerja akan menguntungkan karena dapat memacu pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Dampaknya juga adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Melihat fakta-fakta tentang SDM Indonesia khususnya tenaga kerjanya, alangkah baiknya apabila peluang bonus demografi yang akan terjadi sebentar lagi dimanfaatnya dengan sebaik-baiknya oleh segala pihak, selain pemerintah tentu saja. Bisa dibayangkan apabila jumlah tenaga kerja terdidik Indonesia lebih meningkat di tahun-tahun mendatang, bukan hal yang mustahil Indonesia menguasai perekonomian dunia. Selain menguasai pasar tenaga kerja dengan bonus demografinya Indonesia juga tidak kehilangan pasar dalam negeri yang melimpah jumlah penduduknya. Dengan kata lain tingginya tenaga kerja terdidik ini akan menciptakan banyak lapangan kerja di tanah air, membuka berbagai peluang usaha, dan akan menyerap tenaga kerja. Masyarakat pun tidak hanya sebagai konsumen dari berbagai produk luar, tetapi menjadi produsen berbagai barang dan jasa, baik di dalam maupun luar negeri.