Customer-Brand Identification

Oleh: Alex Maulana M., SE, MM (Faculty Member of International Marketing)

Konsep identifikasi pada awalnya dikembangkan di bidang psikologi sosial dan perilaku organisasi dan berakar pada teori identitas sosial (Tajfel dan Turner, 1979), hal ini juga didukung oleh sejumlah peneliti dengan karya besar (Bagozzi dan Dholakia 2002, McAlexander et al. 2002, Scarpi 2010). Ini mencakup rasa koneksi antara individu dan organisasi dan mewakili sejauh mana individu mempersepsikan kesatuan dengan identitas organisasi (Ashforth dan Mael, 1989). Oleh karena itu Identifikasi telah didefinisikan secara konsensus sebagai keadaan psikologis konsumen dalam mempersepsikan, merasakan, dan menilai kepemilikannya dengan suatu organisasi (Lam et al., 2013). Ini dianggap sebagai tindakan aktif, selektif, dan kehendak yang dimotivasi oleh kepuasan dari satu atau lebih kebutuhan definisi diri yang tergantung pada karakteristik sentral, khas, dan abadi dari target identifikasi tertentu (seperti merek atau komunitas merek) (Bhattacharya et al., 1995; (Popp & Woratschek, 2017).

Beberapa penelitian terdahulu pada bidang pemasaran dimana meneliti dalam ruang lingkup identifikasi dan dampaknya;

  • Perusahaan (company) company (e.g., Ahearne et al., 2005; Bhattacharya and Sen, 2003; Haumann et al., 2014)
  • Merek (brand) (e.g., Stokburger-Sauer et al., 2012; Kuenzel and Halliday, 2008; He et al., 2012)
  • Komunitas merek (brand community) (e.g., Bagozzi and Dholakia, 2006; Algesheimer et al., 2005; Stokburger-Sauer, 2010)

Namun, dari sudut pandang pemasar, penting untuk mengenali bahwa konsumen tidak hanya dapat mengidentifikasi dengan satu target identifikasi tertentu. Menurut teori kategorisasi diri (Turner et al., 1987), mereka secara simultan menjadi bagian dari kelompok terkait merek yang berbeda dan memiliki beberapa dimensi identitas yang dikonstruksi secara sosial, yang dikaitkan dengan target identifikasi yang berbeda dan yang saling mempengaruhi.

Merek dijadikan sebagai pembawa makna simbolik (Levy, 1959), hal ini dapat membantu konsumen mencapai tujuan dan proyek identitas fundamental mereka (Belk, 1988; Huffman, Ratneshwar, & Mick, 2000: Holt, 2005; Escalas & Bettman, 2009; Fournier, 2009). Oleh karena itu, identifikasi konsumen-merek (consumer-brand idenfication), yang didefinisikan sebagai persepsi persatuan konsumen dengan merek, adalah ekspresi yang valid dan kuat dari pencarian kami akan makna pemenuhan identitas di pasar merek (Stokburger-Sauer, Ratneshwar, & Sen, 2012). Definisi ini konsisten dengan literatur perilaku organisasi, di mana identifikasi biasanya telah didefinisikan sebagai persepsi kesatuan dengan atau kepemilikan pada beberapa kelompok manusia, seperti karyawan dengan perusahaan atau siswa mereka dengan alma maters mereka (Bergami & Bagozzi, 2000; Stuart, 2002), atau bahkan antara fans klub sepak bola dengan klub atau pemainnya (Stokburger-Sauer et al., 2012). sehingga dapat disimpulkan bahwa asumsi keadaan consumer brand identification berbeda dari proses perbandingan sifat diri (kosumen) dengan sifat merek (perusahaan) yang dapat berkontribusi pada consumer brand identification itu sendiri.