Ngerti vs Bisa, Anda yang Mana?

Oleh: Son Wandrial, SE, MM (Faculty Member of International Marketing Program)

 

Pada tahun 2016 lalu, saya mengikuti workshop Grounded Bussiness Coaching (GBC) berdurasi 5 hari di Malang.  Dari sekian banyak materi workshop yang diberikan, saya ketemu satu modul yang berisikan gambar seperti dibawah.  Pada prinsipnya gambar ini bercerita tentang apa perbedaan “ngerti” (conscious) dengan “bisa” (competence).  Bagi mereka yang pernah mengikuti training NLP level practioner dan master pasti paham gambar ini.

Kebanyakan dari kita sebenarnya baru di level “ngerti” tapi sudah menganggap atau ngaku-ngaku kalau dirinya sudah “bisa”.

Setelah saya cari lebih jauh, akhirnya ketemu buku aslinya yang ditulis oleh Trompenaars, isi buku tersebut tentang 100 model manajemen dan tools bisnis paling berpengaruh serta bagaimana cara memahami dan menggunakannya dalam manajemen seperti strategy, market, culture, diversity, leadership, entrepreneurship, change, customer, loyalty, sustainability dan masih banyak lagi.  Model diatas adalah yang ke-79 dicetuskan oleh Lewis Robinson pada tahun 1974.

Kalau melihat gambar di atas, ada 4 bagian: unconscious incompetence, conscious incompetence, conscious competence dan unconscious competence.  Dalam kehidupan sehari-hari, model ini sudah sering kita praktekan namun kita tidak menyadarinya.

Unconscious Incompetence (UI) bisa diartikan sebagai kondisi gak sadar kalau memang sebenarnya gak bisa, unconscious itu tidak sadar, incompetence itu tidak bisa.  Memakai bahasa teman saya, dia bilang: elu tu gak sadar kalau elu sebenarnya goblok.  Dalam gambar, seorang anak kecil yang belajar naik sepeda roda tiga dan dipandu oleh orang tuanya.  Sang anak belum sadar kalau sebenar belum bisa naik sepeda makanya masih diawasi kalau tidak dia bakal celaka.

Conscious Incompetence (CI) bisa diartikan bahwa orang mulai sadar (ngerti) bahwa dia belum bisa.  Anda menyadari (conscious) sepenuhnya bahwa Anda selama ini memang bodoh dalam hal tertentu.  Ini yang membuat Anda menjadi tidak nyaman. Di gambar terlihat si anak masih naik sepeda dengan menambahkan bantuan roda kecil di roda belakang.

Dalam kondisi ini si anak masih takut jatuh, dia masih mencari-cari pola, berusaha untuk beradaptasi dengan sepedanya atau sesuatu yang baru, tubuhnya belum punya memori yang cukup tentang bagaimana caranya bersepeda, masih melekat dengan ketakutannya terbukti dari cara pegang stang kemudi begitu erat, badan dan tangan yang tegang dan kaku, belum berani untuk mengayuh lebih kencang sepedanya.  Disini dia baru “ngerti’ tentang sepeda tapi belum “bisa” atau mahir dalam bersepeda.

Karena ada kemauan untuk terus berlatih dan praktek, akhirnya dia bisa menemukan pola, sudah bisa beradaptasi dengan sepedanya atau sesuatu hal tertentu, sudah lebih lancar, badannya sudah mulai rileks dan lebih santai, stang kemudi sudah bisa dipegang dengan lebih kendor, sudah berani mengayuh sepeda lebih kencang dan sudah bisa melepas roda bantuan.  Pada tahap ini tubuhnya sudah punya memori yang cukup tentang bagaimana caranya bersepeda.  Dia sadar bahwa dia sudah bisa, conscious competence (CC).  Sekarang dia sudah masuk dalam zona nyaman.

Sadar bahwa dirinya sudah bisa dan masih terus berlatih, maka tubuhnya sudah punya banyak rekaman memory tentang “bersepeda” sehingga sekarang dia sudah sangat bisa atau mahir dan terampil dalam bersepeda, bahkan sudah bisa mengedarai sepeda sambil lepas tangan tanpa pegang stang kemudi, seolah badannya sudah nyatu dengan sepeda tersebut.  Sekarang kesadarannya tersebut sudah masuk ke dalam pikiran bawah sadar karena adanya repetisi atau pengulangan (latihan) terus menerus sehingga terjadilah mekanisme servo mechanism atau mekanisme otomatis, Unconscious Competence (UC).  Jadi karena sudah mahir maka saat bersepeda yang bekerja adalah pikiran bawah sadarnya bukan pikiran sadarnya lagi.

Contohnya seperti movie dibawah ini:

Unconscious incompetence dan conscious incompetence adalah kondisi belajar, masih bermain di level pikiran atau baru di level “ngerti” sedangkan conscious competence dan unconscious competence adalah kondisi aplikasi yang sudah bermain di level tindakan atau “bisa”.  Orang yang belajar manajemen entah di S1, S2 atau S3 artinya dia baru “ngerti” manajemen (punya sertifikasi atau ijazah) tapi belum tentu “bisa” bermanajemen.  Seorang sarjana lulusan S1 bisnis artinya dia baru “ngerti” tentang bisnis tapi belum tentu “bisa” berbisnis.

Saya menyelesaikan kuliah di S1 dan S2 marketing, itu artinya saya baru “ngerti” marketing tapi belum tentu “bisa” bermarketing, kata orang-orang cuma baru bisa ngomong doang tapi belum bisa praktek.  Untuk dapat dikatakan “bisa” bermarketing maka saya perlu banyak latihan dan praktek dalam menjual.

Saya masih ingat ketika baru lulus S2 dari MMUI pada tahun 1999 lalu.  Waktu itu kondisi perekomian negara sedang kacau akibat kerusuhan, terjadi banyak pengangguran dan PHK.  Begitu sulit cari pekerjaan, akhirnya teman saya mengajak untuk jadi salesman produk pager.   Tadinya saya menolak karena saya pikir alumni S2 kok cuma jadi salesman.   Tapi di sisi lain saya pikir toh tidak ada salahnya untuk mencoba, maka ditetapkanlah jadwal untuk interview dengan supervisor.

Dalam benak saya sudah membayangkan kira-kira pertanyaan seperti apa yang bakal ditanyakan nanti, sehingga saya sudah siapkan jawabannya.  Saat ketemu dengan sang supervisor, saya bersalaman dan berkenalan sebentar lalu setelah dipersilahkan duduk, si supervisor lansung berkata “jadi kamu lulusan marketing?”, “iya pak”, jawab saya.

Lalu dia ambil sebuah pulpen dari sakunya, meletakannya diatas meja persis dihadapan saya dan berkata “silahkah Anda tawarkan pulpen ini kepada saya!”.  Sederhana banget.

Terus terang saya sangat terkejut mendengarnya karena tidak menduga bakal muncul pernyataan seperti itu.  Saya bingung karena tidak tahu bagaimana cara menawarkan sesuatu itu, lha memang tidak pernah saya pelajari dan belum pernah diajarkan waktu kuliah dulu sehingga belum ada memory yang terekam baik di otak maupun di tubuh.  Saya terdiam, mulai panik dan mulai merasa tidak enak di tubuh serta badan mulai berkeringat, artinya saya sudah masuk dalam kondisi siaga dan otak reptil mulai bekerja (fight or flight).  Si supervisor masih menunggu tindakan saya tapi saya masih tetap diam karena memang tidak tahu harus berbuat apa.  Saya tidak dapat melakukan tindakan apapun karena tubuh masih sibuk mencari dan tidak bisa menemukan memory yang terekam tentang cara menjual atau menawarkan produk baik di otak maupun di bagian tubuh yang bisa diakses sehingga bisa melakukan apa yang diminta oleh supervisor.

Saya terdiam sekitar satu atau dua menit, si supervisor kembali lagi bertanya apakah saya bisa menawarkan pulpen tersebut pada dia.  Karena memang tidak bisa melakukannya dan otak reptil melihat bahwa saya berada dalam kondisi terancam maka mekanisme survival atau pertahanan diri mulai aktif.  Dan saat dia berkata “kamu marketing kan?” maka spontan jawaban saya adalah “marketing itu bukan cuma jualan loh pak”.  Jawaban ini adalah pembenaran dari saya saja dan merupakan bentuk mekanisme pertahanan diri tapi ini adalah jawaban paling konyol dan bodoh yang pernah saya lontarkan.

Semenjak itu saya sadar bahwa saya baru cuma “ngerti” marketing dan masih banyak yang perlu saya latih dan praktekan lagi atas ilmu-ilmu yang pernah dipelajari.  Kita akan makin terampil atas ilmu apapun yang dipelajar kalau kita praktekan, belajar teori atau konsep itu baru di level pikiran sedangkan praktek atau aplikasi itu sudah di level tindakan.  Belahan otak yang dipakai untuk belajar berbeda dengan belahan otak yang dipakai untuk bekerja.  Ada orang yang pandai marketing tapi belum tentu pandai ber-marketing, ada orang yang ngerti marketing tapi belum bisa ber-marketing.  Ada orang ngerti leadership tapi belum tentu bisa ber-leadership.  Banyak orang yang cuma ngerti manajemen tapi berani ngaku-ngaku dan merasa kalo dia punya kompetensi ato bisa bermanajemen.

Salam :))

SW@2018