Jenis-Jenis Fraud

Menurut The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) merupakan organisasi profesional bergerak di bidang pemeriksaan atas kecurangan mengklasifikasikan fraud (kecurangan) dalam tiga tingkatan yang disebut Fraud Tree, yaitu sebagai berikut (Albrech, 2009):

1. Penyimpangan atas asset (Asset Misappropriation) 

Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/dihitung (defined value).

2. Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement) 

Fraudulent statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.

3. Korupsi (Corruption) 

Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisme). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).

Sedangkan menurut Albrecht (2012), fraud dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu:

  1. Employee embezzlement atau occupational fraud. Pencurian yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh karyawan kepada perusahaan.
  2. Management fraud. Manajemen puncak memberikan informasi yang bias dalam laporan keuangan.
  3. Investment scams. Melakukan kebohongan investasi dengan menanam modal.
  4. Vendor fraud. Perusahaan mengeluarkan tarif yang mahal dalam hal pengiriman barang.
  5. Customer fraud. Pelanggan menipu penjual agar mereka mendapatkan sesuatu yang lebih dari seharusnya.

 

Fraud Triangle dan Fraud Diamond 

Menurut Fuad (2015), terdapat tiga hal yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindakan kecurangan (fraud) yang dikenal dengan istilah fraud triangle, yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity) dan pembenaran atas tindakan (rationalization).

  1. Pressure (tekanan), yaitu adanya insentif/tekanan/kebutuhan untuk melakukan fraud. Tekanan dapat mencakup hampir semua hal termasuk gaya hidup, tuntutan ekonomi, dan lain-lain termasuk hal keuangan dan non keuangan. Terdapat empat jenis kondisi yang umum terjadi pada pressure yang dapat mengakibatkan kecurangan, yaitu financial stability, external pressure, personal financial need, dan financial targets.
  2. Opportunity (kesempatan), yaitu situasi yang membuka kesempatan untuk memungkinkan suatu kecurangan terjadi. Biasanya terjadi karena pengendalian internal perusahaan yang lemah, kurangnya pengawasan dan penyalahgunaan wewenang. Opportunity merupakan elemen yang paling memungkinkan diminimalisir melalui penerapan proses, prosedur, dan upaya deteksi dini terhadap fraud.
  3. Rationalization (rasionalisasi), yaitu adanya sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai etis yang membolehkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan kecurangan, atau orang-orang yang berada dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka merasionalisasi tindakan fraud. Rasionalisasi atau sikap (attitude) yang paling banyak digunakan adalah hanya meminjam (borrowing) aset yang dicuri dan alasan bahwa tindakannya untuk membahagiakan orang-orang yang dicintainya.

Fraud diamond merupakan penyempurnaan dari fraud triangle dengan menambahkan satu elemen yaitu capability (kemampuan). Banyak fraud yang umumnya bernominal besar tidak mungkin terjadi apabila tidak ada orang tertentu dengan capability (kemampuan) khusus yang ada dalam perusahaan.

Menurut Wolfe dan Hermanson (2004), sifat-sifat terkait elemen capability (kemampuan) yang sangat penting dalam pribadi pelaku kecurangan, yaitu:

  1. Positioning. Posisi seseorang atau fungsi dalam organisasi dapat memberikan kemampuan untuk membuat atau memanfaatkan kesempatan untuk penipuan.Seseorang dalam posisi otoritas memiliki pengaruh lebih besar atas situasi tertentu atau lingkungan.
  2. Intelligence and creativity. Pelaku kecurangan ini memiliki pemahaman yang cukup dan mengeksploitasi kelemahan pengendalian internal dan untuk menggunakan posisi, fungsi, atau akses berwenang untuk keuntungan terbesar.
  3. Convidence / Ego. Individu harus memiliki ego yang kuat dan keyakinan yang besar dia tidak akan terdeteksi. Tipe kepribadian umum termasuk seseorang yang didorong untuk berhasil di semua biaya, egois, percaya diri, dan sering mencintai diri sendiri (narsisme).
  4. Coercion. Pelaku kecurangan dapat memaksa orang lain untuk melakukan atau menyembunyikan penipuan. Seorang individu dengan kepribadian yang persuasif dapat lebih berhasil meyakinkan orang lain untuk pergi bersama dengan penipuan atau melihat ke arah lain.
  5. Deceit. Penipuan yang sukses membutuhkan kebohongan efektif dan konsisten. Untuk menghindari deteksi, individu harus mampu berbohong meyakinkan, dan harus melacak cerita secara keseluruhan.
  6. Stress. Individu harus mampu mengendalikan stres karena melakukan tindakan kecurangan dan menjaganya agar tetap tersembunyi sangat bisa menimbulkan stres.

 

Referensi :