Tahun 2019 diawali dengan berita mengejutkan mengenai harga tiket pesawat yang masih mahal meskipun musim liburan sudah selesai. Hal ini terlihat dari harga tiket pesawat yang lebih murah jika transit ke negara asing terlebih dahulu daripada menggunakan rute domestik secara langsung. Dikutip dari BBC.com penerbangan dari Banda Aceh ke Surabaya akan menghabiskan biaya sebesar 2.7 juta rupiah sedangkan jika seseorang berangkat dari Aceh ke Surabaya tetapi transit Kuala Lumpur, Malaysia maka biaya yang dihabiskan hanya berkisar 1 juta rupiah saja. Kasus seperti yang telah membuat sebagian Warga Aceh membuat paspor dengan tujuan menghemat biaya tiket penerbangannya, lantas apa yang menjadi penyebab harga tiket pesawat mahal di Indonesia?

Mahalnya harga tiket pesawat untuk rute domestik dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti biaya operasional yang mahal dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS. Artikel ini akan membahas faktor-faktor yang dikatakan mempengaruhi harga tiket penerbangan namun sebagian faktor yang dibahas juga akan bersifat spekulatif.

Faktor pertama adalah harga avtur (bahan bakar pesawat) yang lebih mahal oleh PT. Pertamina (Persero) lebih mahal dibandingkan harga avtur yang dijual di luar negeri. Ketua Indonesia National Air Carrier Association (INACA) mengatakan bahwa perusahaan penerbangan mengeluarkan biaya 10-16 persen untuk lebih banyak untuk membeli avtur di Indonesia. Biaya avtur menjadi komponen besar dalam biaya beban operasional maskapai penerbangan yakni sebesar 40-45 persen. Tak heran jika perbedaan harga avtur antara domestik dan asing dapat memberikan dampak yang besar pada harga tiket penerbangan pesawat.

Faktor kedua adalah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Nilai tukar rupiah yang lemah akan berdampak pada leasing komponen pesawat di mana sebagian dilakukan dalam mata uang Dollar AS. Leasing ini memiliki komponen sebesar 20 persen dalam suatu harga tiket pesawat dan tentu dapat berdampak pada kenaikan harga tiket pesawat. Melemahnya nilai tukar rupiah meningkatkan biaya operasional penerbangan seperti gaji karyawan dan bukan hanya biaya perawatan saja.

Faktor ketiga adalah mahalnya harga tiket karena imbas dari musim liburan akhir tahun dan libur sekolah. Harga tiket masih mahal mengikuti tarif peak season sebelumnya, namun tarif yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan masih tidak melebihi tarif batas atas (TBA) yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga konsumen seharusnya tetap mampu membeli tiket pesawat. Faktor ini pun sebenarnya terkait dengan faktor berikutnya yang akan dibahas.

Faktor keempat adalah harga tiket pesawat yang tidak pernah mengalami kenaikan sejak April 2016. Banyak komponen harga tiket penerbangan seperti bahan bakar pesawat, nilai tukar dan gaji karyawan maksapai penerbangan sudah mengalami kenaikan sebesar 100 persen. Tak heran maskapai penerbangan perlu menaikkan harga tiket pesawat untuk menutupi biaya operasional makaspai penerbangan mereka saat ini. Kenaikan harga ini pun dilakukan oleh maskapai penerbangan melalui kenaikan harga tiket setelah musim liburan 2018, maskapai penerbangan memanfaatkan kesempatan ini dengan tidak kembali menurunkan harga tiket meskipun musim liburan udah selesai. Tindakan ini pun dikeluhkan oleh sebagai penumpang karena harga tiket menjadi sangat mahal.

Faktor kelima adalah dugaan adanya kartel yang secara sepakat menaikkan harga tiket pesawat. Industri penerbangan nasional Indonesia di saat ini dikuasai oleh 2 pemain besar yakni Grup Garuda Indonesia (Garuda Indonesia, Citilink, Sriwijaya Air, dan NAM air) serta Grup Lion Air (Lion Air, Batik Air, dan Wings Air). Kedua grup tersebut membentuk pasar oligopoli di mana hanya 2 pemain besar dalam suatu pasar. Kedua grup tersebut dapat secara sepihak menaikkan harga tiket pesawat secara bersama-sama terutama untuk rute-rute domestik yang tidak dilayani oleh maskapai internasional.

Faktor-faktor tersebut merupakan hal yang dapat menyebabkan harga tiket pesawat menjadi mahal namun kita pun harus melihat dari sisi maskapainya juga. Kenaikan harga tiketnya ini sebenarnya juga dibutuhkan karena kondisi maskapai penerbangan yang tidak terlalu baik. Misalnya, Garuda Indonesia masih membukukan kerugian yang cukup besar selama beberapa kuratal berturut-turut akan tetapi besar kerugian tersebut terus menurun tiap periodenya. Kondisi keuangan maskapai penerbangan yang lain pun tidak jauh berbeda, kondisi keuangan mereka kurang baik karena persaingan bisnis mendorong mereka untuk banting harga tiketnya. Kenaikan harga tiket ini pun mungkin dapat memperbaiki kondisi keuangan maskapai penerbangan yang saat ini sudah tidak terlalu baik.

Pasca kenaikan harga tiket pesawat dilakukan, maskapai penerbangan mengalami banyak kecaman dari para penumpangnya. Asociation of the Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA) juga mengeluhkan kondisi ini dan membuat sebagian perusahaan tur dan travel mogok untuk tidak menjual tiket pesawat domestik selama beberapa waktu. Berbagai maskapai penerbangan pun sudah sepakat menurunkan harga tiket sebesar 20% – 60% untuk mengatasi kondisi yang terjadi. Masalah harga tiket pesawat ini bukan hal sepele dan pemerintah pun juga harus berkoordinasi dengan maskapai-maskapai penerbangan agar sektor pariwisata Indonesia dapat meningkat. Jika harga tiket domestik mahal dan harga tiket internasional lebih murah maka orang akan memilih ke negara asing ketimbang jalan-jalan di negeri sendiri. (ME)